BACAMALANG.COM – Dalam penanganan pandemi Covid–19 dibutuhkan upaya memutuskan mata rantai penularan dan pembatasan gerakan manusia dengan siklus 14 hari.
“Untuk penanganan Covid–19 harus dengan memutuskan mata rantai penularan. Yaitu harus dilakukan pembatasan gerakan manusia, dengan siklus 14 harian,” tandas dr Umar Usman Ketua PC NU Kabupaten Malang yang juga Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Malang, Selasa (28/4/2020).
Usman menuturkan, hingga kini jumlah warga Kabupaten Malang yang positif Corona sudah mencapai 28 orang.
Tiga di antaranya meninggal dunia. Warga yang tertular COVID-19 terbanyak dikarenakan transmisi impor atau luar daerah.
Kasus pertama terjadi pada satu keluarga di wilayah Dau, satu orang meninggal dunia dan empat anggota keluarga lainnya dinyatakan sembuh.
Mereka tertular atau terinfeksi virus dari Yogyakarta. Menyusul berikutnya pasien kelima yakni warga Karangploso yang punya riwayat dari Jakarta, disusul kemudian pasien keenam warga Kepanjen dan Pakis.
Kesemuanya transmisi impor atau luar daerah. Hasil tracing transmisi impor itu ada yang berasal dari Subang, Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan juga Kota Surabaya.
Di samping transmisi impor, persoalan lain adalah keterlambatan hasil swab. Tiga pasien positif yang meninggal, hasil swabnya belum keluar, yakni satu warga Pujon, Karangploso serta Singosari.
Beberapa kasus positif COVID-19 di Kabupaten Malang, sudah merupakan generasi ketiga. Artinya, dari transmisi impor menular kepada warga di sekitarnya.
Kasus tersebut yang kemudian membuat jumlah pasien positif COVID-19 meningkat signifikan di wilayah Kabupaten Malang. Hal itu, juga disebabkan ketidakjujuran warga untuk disiplin mengisolasi diri ketika terindikasi membawa virus COVID-19.
“Banyak yang tidak disiplin, ketika harus isolasi mandiri tetapi tidak dilakukan. Hal itu kemudian membuat virus menyebar luas terhadap warga di sekitarnya. Kasus yang terjadi di Singosari, Ampelgading, Pakis, dan juga Lawang yang menimpa anak kecil. Semua tertular dan merupakan generasi ketiga,” terang pria yang juga alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini.
Pemkab Malang sendiri tengah memikirkan untuk mengusulkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) setelah jumlah kasus dan pasien positif COVID-19 terus mengalami peningkatan.
Meski sebelumnya menolak ajakan Pemkot Malang untuk bersama-sama mengusulkan PSBB dan memilih untuk melaksanakan village physical distancing (VPD).
Berdasarkan data Gugus Tugas COVID-19 Kabupaten Malang per 27 April 2020, jumlah warga positif COVID-19 mencapai 28 orang.
Mereka tersebar di sejumlah kecamatan, meliputi satu orang di Ampelgading, 4 orang di Bululawang, Dau sebanyak 4 orang, Lawang 2 orang, Kepanjen 1 orang, Karangploso 1 orang, Pakis sebanyak 4 orang, Pagelaran 1 orang, Ngantang dan Ngajum masing-masing 1 orang, Singosari 4 orang, Pujon 3 orang, dan Pakisaji 1 orang.
Umar menjelaskan, hal paling mendasar adalah mencegah terjadinya penularan Corona Covid-19 baru di tengah masyarakat. Maka sejak awal physical distancing menjadi kunci sukses di dalam pelaksanaan pengendalian penularan Covid-19.
Karena sampai saat ini, jumlah pasien yang dinyatakan positif Corona Covid-19 masih terus bertambah.
Setidaknya ada 4 strategi yang perlu dijalankan demi menghentikan mata rantai penularan kasus virus Corona Covid-19 di Indonesia:
Physical Distancing atau Jaga Jarak
Sejak awal, physical distancing atau jaga jarak menjadi kunci sukses di dalam pelaksanaan pengendalian penularan.
“Saat ini dirasa perlu oleh pemerintah memperkuat physical distancing, karena dalam beberapa hari terakhir kita masih mendapatkan mendapatkan ketidakefektifan pelaksanaan ini akibat disiplin yang masih belum kita bangun bersama-sama di tengah masyarakat,” kata pria yang turut memarakkan kontestasi Pilbup Malang ini.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah pun memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengajukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB dalam kaitan untuk meningkatkan efektivitas physical distancing.
“Tujuan dari pembatasan sosial, bukan dimaknai melarang, tapi membatasi. Karena kita sama-sama pahami faktor pembawa penyakit ini adalah manusia,” terang Umar.
Pembatasan dilakukan karena banyak kasus positif tanpa gejala, kasus positif Covid-19 dengan gejala yang minimal sehingga secara subjektif dirasakan, tidak ada gejala yang masih berada di tengah-tengah kita.
Kemudian juga, lanjutnya, masih banyak kelompok masyarakat rentan yang mengabaikan physical distancing, jaga jarak, dan tidak rajin mencuci tangan. Akibatnya, penularan yang terus terjadi.
Penelusuran Kontak
Strategi kedua yang bisa dilakukan adalah melakukan penelusuran kontak dari kasus positif Corona Covid-19 yang sudah dirawat.
“Kita harus mewaspadai betul kelompok yang potensial menjadi sumber penularan, di antaranya adalah kontak dekat kasus positif yang kita rawat, kemudian risiko pada tenaga kesehatan yang merawat penderita Covid-19, dan pada masyarakat di daerah di mana kasus ini sangat banyak kita temukan,” papar dia.
Edukasi Masyarakat Isolasi Mandiri
Upaya ketiga yang perlu dilakukan adalah mengedukasi dan menyiapkan secara mandiri pada sebagian hasil contact tracing yang menunjukkan positif dari hasil tes atau negatif Corona, namun memiliki gejala untuk melakukan isolasi secara mandiri.
“Isolasi ini bisa dilaksanakan secara tersendiri, dilaksanakan secara kelompok seperti yang diinisiasi oleh berbagai kelompok masyarakat kita,” tukas Umar.
Upaya melakukan isolasi mandiri adalah upaya yang positif dan patut diapresiasi.
Sehingga mereka yang melakukan isolasi mandiri bisa melaksanakannya dengan baik tanpa ada stigmatisasi dan upaya untuk mengucilkannya.
“Namun, kewajiban bersama untuk membantu agar mereka bisa melaksanakan isolasi dengan baik. Dari kelompok inilah kemudian bila pemeriksaannya kemudian diulang dan didapatkan positif atau keluhan klinis semakin memberat, baru kita laksanakan pemeriksaan antigen dengan metode PCR,” tegas Umar.
Isolasi Rumah Sakit
Langkah terakhir yang penting disiapkan adalah isolasi rumah sakit. Tahapan ini dilakukan apabila isolasi mandiri tidak lagi mungkin dilakukan karena ada tanda klinis yang membutuhkan layanan definitif di rumah sakit.
“Puncaknya adalah rumah sakit rujukan Covid-19 dengan keluhan sedang berat. Dengan keluhan sedang berat yang membutuhkan alat bantu yang spesifik termasuk ventilator,” imbuh Umar.
Saat ini masyarakat Indonesia dibuat was-was dengan adanya wabah virus corona. Sehingga kita harus membatasi waktu keluar rumah dan lebih banyak untuk mengurung diri, sebagai salah satu cara untuk memutus rantai penularan.
Hingga kini, kita tidak tahu pasti sampai kapan situasi seperti ini akan berakhir, namun dalam sebuah pernyataan seorang pakar di Indonesia menjelaskan bagaimana virus ini bisa berakhir.
Mengutip penelitian pakar Matematika Fakultas MIPA UNS Solo Prof.Dr. Sutanto Sastraredja, DEA menjelaskan jika wabah ini akan hilang dari Indonesia pada 10 Juni 2020, namun dengan syarat pemerintah melakukan karantina total alias lockdown.
Namun, jika tidak dilakukan dia khawatir jumlahnya akan terus bertambah.
Hal ini tentu dengan dasar yang kuat, kesimpulannya muncul setelah melakukan simulasi bersama dengan mahasiswa.
Mereka membuat simulasi dengan persamaan deferensial berdasarkan kecepatan pertambahan kasus positif virus corona di Indonesia selama ini.
Simulasi ini juga untuk menjawab perdebatan apakah Indonesia harus melakukan kebijakan lockdown atau tidak.
Lockdown mungkin kan berdampak besar bagi negara, misalnya perekonomian akan lumpuh dalam beberapa waktu.
Namun, ini akan berdampak besar, dan sangat efektif menghentikan wabah dalam waktu yang lebih singkat.
Saat ini tingkat kematian, pasien Covid-19 cukup tinggi, mulai dari 8,4% naik menjadi 9% tapi kini turun lagi menjadi 8,6%.
Artinya orang sehat saja bisa terinfeksi sewaktu-waktu tanpa mengetahui apakah dia terinfeksi atau tidak.
Hingga akhirnya baru ketahuan ketika sudah parah dan akhirnya meninggal dunia.
Hal yang berbahaya adalah ketika seseorang terinfeksi namun tidak menyadari dia juga menularkan ke orang-orang yang sehat.
Faktor inilah yang dinilai membuat wabah virus corona sangat sulit untuk hilang dari Indonesia, apa lagi dengan rasio kematian yang lumayan tinggi.
Simulasi yang dilakukan membagi kondisi masyarakat menjadi empat susceptible (rentan), infected (terinfeksi) quarantined (dikarantina) dan recovered (sembuh).
“Susceptible, yaitu orang yang sehat tapi rentan terinfeksi, ini sangat dipengaruhi oleh kontak yaitu Beta.”
Kalau Beta ini besar, orang sering bertemu dan berkerumun maka Betanya juga akan besar pula, ada orang akan berpindah menjadi infected atau terinfeksi.
Orang yang terinfeksi akan bisa meninggal, namun ada juga yang sembuh sementara orang yang terinfeksi harus dikarantina total.
Besarnya angka karantina tergantung kemampuan negara dan masyarakat dalam mengisolasi diri.
Penyelesaian pandemi ini tergantung kemampuan kecepatan karantina Alfa dan kecepatan penularan penularan beta.
Jika Alfa besar, artinya banyak orang terinfeksi masuk karantina total. Setelah perawatan, orang yang sembuh bisa terinfeksi kembali namun dengan karantina masih bisa dihindari.
Sutanto menjelaskan jika kondisi ini dijalankan terus menerus, pada 10 Juni vius ini akan menurun tetapi belum hilang.
Percepatan karantina harus dilakukan untuk mengejar laju kontak dan penularan.
Semakin tinggi jumlah orang bertemu, atau kontak, maka nilai Beta akan semakin besar, sebaliknya jika semakin cepat dikarantina nilai Alfa akan semakin kecil. (Had)