BACAMALANG.COM – Banyak yang mengatakan foto lebih dari seribu kata. Namun semuanya itu tak lepas dari fungsi utama sebuah foto diciptakan, yakni dokumentasi. Hal ini diungkapkan penulis musik senior asal Malang, Arief Wibisono dalam panggung fotografi yang digelar Malang Photo Club (MPC) di Malang belum lama ini.
Bincang santai dengan pria yang akrab disapa Bison ini mengambil tema Foto Dan Arsip, yang mengulas bagaimana seluk beluk pengarsipan foto hingga menjadi momen yang bersejarah bagi suatu kota atau suatu masa tertentu. “Saya tertarik untuk memotret sebagai pengarsipan, yang arahnya menguatkan ke literasi kota,” ujarnya.
Meski demikian Bison menegaskan, bahwa foto tentunya akan lebih berbicara jika ada keterangan yang menyertainya. “Kisah-kisah tersebut akhirnya saya tulis dalam bentuk narasi, karena saya kebetulan juga suka menulis,” ungkap penulis buku ‘Empat Dekade Sejarah Musik Kota Malang’ ini.
Hasil karya pria kelahiran 3 Februari 1976 ini dapat dinikmati dalam sejumlah buku tentang musik yang ditulisnya. Berangkat dari hobi memotret dan menonton pentas musik, Bison mengawali penelusuran sejarah musik Kota Malang mulai akhir tahun 1980-an dengan mengadbadikan momnen dari panggung musik satu ke panggung musik lainnya. Salah satunya diawali dengan memotret tour Raksasa di grup legendaris God Bless di Stadion Gajayana Malang.
“Padahal waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 3 SMP, dan saya maju terus saja karena tidak bisa dibendung, bahkan pernah saya mengelabui petugas kemananan hingga lolos ke backstage saat ada acara musik rock di GOR Pulosari,” kenangnya.
Bison menerangkan intinya bukan karena ia bisa lolos ke belakang panggung untuk bertemu dan memotret pengisi acara pentas tersebut, namun tentu ada momen yang terekam dan tidak bisa diulang kembali. “Salah satunya adalah fakta bahwa Kota Malang pernah punya GOR Pulosari di Jalan Kawi, yang sekarang sudah menjadi supermarket, yang itu pun sudah tutup juga,” imbuhnya.
Foto juga mampu menggugah emosi seseorang tanpa diduga. Bahkan ia sempat diundang ke Bandung hanya karena sebuah foto. “Toni, bassis grup Roxx tidak mengira bahwa saya mengabadikan momen saat dia beraksi di atas panggung. Ia menangis bukan karena melihat fotonya tapi justru di foto tersebut tampak juga saudaranya yang sudah meninggal, sementara ia sendiri tidak punya foto saudaranya itu,” ungkap penulis yang pernah menerbitkan buku Be Sound ini.
Foto-foto yang dihasilkan Bison sebelum tahun 2000 masih menggunakan kamera analog, yang dahulu kerap disebut orang dengan nama ‘tustel’. Baru setelah itu ia mulai memotret dengan kamera D-SLR yang dibelinya hingga sempat hijrah ke Jakarta dengan tetap melanjutkan aktivitasnya berburu foto artis dan panggung. “Beruntung sekarang teknologi fotografi sudah sangat maju, lewat proses pemindaian (scan), banyak foto atau dokumen lama yang masih analog bisa di alih-media menjadi digital,” ujar alumnus Universitas Merdeka Malang ini.
Oleh karena itu Bison sangat menganggap penting foto sebagai pengarsipan. Menurut dia, dari sebuah foto bisa dibuat narasi yang menggambarkan suasana atau pun momen yang terjadi saat itu. “Prinsipnya foto, pendataan, lalu pengarsipan, sehingga menjadi bagian penting dari dokumentasi sebuah kota bahkan sebuah negara. Misalnya Hiroshima paska dibom atom, maka yang diperlukan adalah foto pada saat masih semua belum musnah, sehingga ada acuan untuk membangun kembali,” terangnya.
Bison juga berpesan agar komunitas-komunitas foto yang ada tidak lelah untuk terus memotret di kotanya sendiri. “Karena mereka sebenarnya adalah para pencetak arsip,” tandasnya.
Pemerhati sejarah Agung H Buana menilai Bison ini adalah sosok kreatif yang mampu merawat sejarah dalam bingkai sastra literasi maupun dalam bentuk dokumentasi foto. “Apalagi foto-foto yang dimiliki sebagai arsip tersebut berusia lebih dari tiga dekade, sehingga mampu merekam perkembangan kota dalam sebuah jejak atau arsip dokumentasi agar tidak kehilangan jati diri,” ungkapnya.
Ia berharap di Malang akan banyak fotografer yang seperti Bison, apalagi sekarang sudah dipermudah dengan internet,” ujar pria yang pernah menjadi Tim Ahli Cagar Budaya (TABC) Kota Malang ini.
Pengamat ekonomi kreatif dan heritage ini mengatakan, Pemerintah Kota Malang saat menggalakkan ekonomi kreatif dengan 17 sub sektor yang menjadi lahan garapannya dengan fotografi yang menjadi salah satu perhatian utama. “Foto bukan hanya sekedar memotret tapi lebih kepada suatu upaya kreatif yeng membutuhkan imajinasi dan usaha yang harus dihargai lebih, apalagi MPC yang sudah saya kenal sejak tahun 2016 ini ada anggotanya yang punya program trip fotografi sehingga membuat orang tertarik untuk memotret sekaligus berwisata,” urai ASN di Pemkot Malang ini.
Meski demikian Agung mengaku, Pemkot sementara ini belum banyak bisa memberi banyak dukungan. “Namun setidaknya kami akan mendorong jika ada komunitas fotografi yang ingin beraktivitas di lingkungan Balai Kota atau tempat publik lainnya, atau ingin mengadakan pameran foto sebagai bagian dari literasi publik,” tutupnya. (ned)