Kasus Korupsi Dana Hibah Pemprov Jatim Rp 7,8 Triliun Bergulir, Pemerhati Hukum Sampaikan Sorotan Tajam

Eryk Armando Talla.(ist)

BACAMALANG.COM – Pasca momen puasa di bulan suci Ramadan dan Idul Fitri, kasus korupsi dana hibah Pemprov Jatim sebesar Rp 7,8 triliun memasuki perkembangan baru.

Setidaknya ada dua perkembangan, yakni Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menghadirkan 130 saksi dan klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKN), Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Adhy Karyono, Senin (22/5/2023).

Terkait perkembangan kasus ini, pemerhati hukum Malang, Eryk Armando Talla memberikan beberapa sorotan tajam.

Ia mengatakan, bahwa dana hibah sejumlah Rp 7,8 triliun tersebut dikucurkan dan dialirkan melalui mekanisme pengajuan proposal yang diserahkan melalui para anggota DPRD Provinsi Jatim, termasuk unsur pimpinan dan fraksi, sesuai dengan jumlah kursi yang ada, yaitu Fraksi PDIP, PKB, Partai Gerindra, Partai Demokrat, serta Partai Golkar.

Selanjutnya, Partai NasDem, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Gabungan yang terdiri dari Partai Hanura, PKS dan PBB.

“Jika kita mengamati dengan seksama perkara ini, sebenarnya memiliki modus yang sama dengan perkara dana hibah
P2SEM beberapa tahun yang lalu,” tegas Eryk Armando Talla kepada BacaMalang.com, Selasa (23/5/2023)

Dipaparkannya, modus korupsi dana P2SEM yang dilakukan para terdakwa hampir sama, yaitu anggota DPRD meminta instansi atau lembaga swadaya masyarakat mengajukan sebuah program.

Lantas, program itu diajukan oleh anggota DPRD ke Bappenas untuk mendapatkan dana. Dalam kenyataannya, setelah diajukan ke Bappenas, anggota Dewan atau orang yang dekat dengan anggota Dewan melakukan pemotongan terhadap dana tersebut.

“Tak hanya itu, beberapa program yang diajukan ternyata fiktif belaka. Sedangkan dalam perkara dana hibah saat ini, Pokmas mengajukan proposal kegiatan melalui anggota DPRD Provinsi Jatim sesuai dengan Dapil yang diwakilinya,” urainya.

Dijelaskannya, tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tidak dapat dilakukan perorangan, dipastikan akan melibatkan banyak pihak yang terkait dalam sistem program tersebut, khususnya yang berkaitan dengan eksekutif dan legislatif.

“Adanya kecenderungan untuk saling menutupi perbuatan Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang berkaitan secara langsung dengan masyarakat, bisa dibilang lingkaran setan, jadi saling menutupi,” imbuhnya.

Ia menilai tingkat kesadaran masyarakat dan brokrasi mengenai TPK masih rendah karena berbagai faktor.

“Menurut pandangan saya pribadi, tingkat kesadaran masyarakat dan birokrasi mengenai TPK ini masih sangat lemah. Karena faktor histori di negeri ini, birokrasi yang lambat dan berbelit, serta hukum yang lemah,” lanjutnya.

Diungkapkannya, jika hal tersebut dibiarkan, tentunya akan berdampak negatif yang sangat besar kepada jalannya pembangunan dan kehidupan masyarakat.

Karena tindak pidana korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat.

“Makanya perlu adanya langkah-langkah konkret yang dilakukan oleh semua pihak terkait. Selain langkah-langkah penindakan, yang lebih penting lagi adanya pendidikan anti korupsi sejak dini, guna mencegah munculnya bibit-bibit koruptor,” pungkasnya.

Seperti viral diberitakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Johanis Tanak mengatakan Pemprov Jatim mengalokasikan Rp 7,8 triliun selama tahun anggaran 2020-2021 untuk dana hibah, dan pasca penangkapan Sahat Tua Simanjuntak, ditemukan praktik permintaan fee 30 persen dari angka anggaran tersebut.

KPK sedang mendalami siapa-siapa saja pihak yang menikmati dana hibah itu, selain Sahat.

Dana yang digelontorkan Rp 7,8 triliun, kalau 20 persen untuk fee sistem ijon, kemudian 10 persen sebagai kepala pokmasnya, tentunya kualitas dari uang itu turunnya tinggal 70 persen.

Pewarta : Hadi Triswanto
Editor/Publisher : Aan Imam Marzuki