Marak Anak Terlibat Kekerasan dan Kriminal, Yassiro Paparkan Pentingnya Keadilan Restoratif dan Diversi

BACAMALANG.COM – Untuk menghindari stigmatisasi buruk pada anak terlibat kekerasan dan kriminalitas, Pengacara dan Konsultan Kota Malang, Yassiro Ardhana Rahman
memaparkan pentingnya keadilan restoratif dan diversi.

“Ketika anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) merupakan pengganti dari UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,” tegas Yassiro kepada BacaMalang.com, Rabu (28/12/2022).

Ia menandaskan tentang keadilan restoratif dan diversi. “Salah satu substansi yang mendasar dalam UU SPPA adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang bertujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,” tuturnya.

Dikatakannya setidaknya, terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam UU SPPA. Dalam UU SPPA terdapat tiga kategori anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana, yakni anak yang menjadi pelaku tindak pidana, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Ia menyoroti tentang penjatuhan sanksi. “Berkaitan penjatuhan sanksi. Dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA disebutkan, pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yakni tindakan bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.

Dalam Pasal 82 UU SPPA disebutkan bahwa yang dimaksud sanksi tindakan adalah dikembalikan kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal/pelatihan yang diadakan pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi dan perbaikan akibat tindak pidana.

Sedangkan sanksi pidana dijelaskan dalam Pasal 71 UU SPPA yang terdiri dari pidana pokok yakni pidana peringatan, pidana dengan syarat seperti pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga hingga penjara.

Sedangkan pidana tambahan terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

“Keberadaan UU SPPA ini bertujuan agar terwujudnya peradilan yang menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,” ungkapnya.

Ia memperjelas urgensi keadilan restoratif dan diversi bagi anak-anak selaku pelaku kriminal.

“Artinya bila mengacu pada UU SPPA pihak penyidik memiliki kewenangan penuh untuk mengesampingkan suatu perkara yang melibatkan anak sebagai pelaku dengan catatan ada perdamaian dengan pihak keluarga korban dan ancaman tindak pidana tersebut tidak diatas 15 tahun penjara (bukan extra ordinary crime). Dengan begitu hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, kesehatan dan hidup yang layak dapat terwujud tanpa mengesampingkan nilai nilai keadilan,” tukasnya.

Sekilas info, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 ada 655 (506 kekerasan fisik dan 149 kekerasan psikis) yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan.

Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ini konsisten berada di atas 100 orang per tahun selama 2016-2019. Angkanya kemudian turun menjadi 69 anak pada 2020, dengan rincian 58 anak sebagai pelaku kekerasan fisik dan 11 anak pelaku kekerasan psikis.

Sementara untuk wilayah Kabupaten Malang sendiri, akhir-akhir ini banyak kejadian tindak kekerasan yang pelakunya anak-anak.

Salah satunya terjadi Sabtu (11/11/2022), dialami MWF (7), murid SD di Jenggolo Kepanjen, diduga dianiaya kakak kelasnya (ditampar dan ditendang) sejak kelas 1 sampai 6, diduga pelaku jumlahnya sampai 7 orang, kerap memalak uang saku korban serta melakukan pengeroyokan.

Kasus lainnya, terjadi (16/12/2022)
tindak kekerasan dialami seorang santri ponpes Bululawang, MFA (16) asal Kecamatan Dau, Kabupaten Malang kejadian, dituduh mencuri uang, serta jumlah pelaku ada puluhan anak.

Yang terakhir pada (19/12/2022) kejadian menimpa TG (14) asal Kecamatan Turen sekolah di SMP Pagelaran kelas 8 dituduh DS teman sekelas merusak bangkunya, korban dibanting dan ditendang mengalami benjolan di bagian kepala serta kemaluan korban yang membiru. (had)