Oleh: Dr Riyanto M.Hum*
Di era Pak Harto, terpilihnya Moerdiono, yang dinilai nggak pinter dan susah bicara itu, dipahami budayawan Ainun Najib, Allah memilih Nabi Musa sebagai kalamullah.
Di era reformasi, Allah memilih Jokowi sebagai Fir’aun-nya.
Tulisan ini tidak menanggapi Cak Nun yang konon kesambet Jin Kiprit. Hanya melihat kesamaan dengan lakon wayang.
Dalam kisah Mahabarata, ada tokoh hebat, menguasai “Candrabirawa”.
Ajian gaib yang menyatu dengan tubuh pemiliknya.
Tidak boleh digunakan sembarangan.
Kalau mantra dirapal, Candrabirawa keluar, dan harus makan korban.
Prabu Salyo, pemilik Candrabirawa, tidak pernah terkalahkan.
Sehebat apapun musuh, satu raksasa kerdil yang terbunuh, akan berlipat hidup kembali. Menyerang lawan semakin sadis.
Satu syarat yang harus diingat. Candrabirawa tidak mau menghancurkan orang yang pasrah dan tidak pernah memaki.
Kala itu Baratayudha masuk hari ketujuh. Bau anyir, banjir darah memenuhi medan perang.
Prabu Salyo tersenyum puas.
Berjuta Candrabirawa beringas melibas musuh di Kurusetra.
Malam semakin larut. Prabu Salyo menitikkan air mata. Telah berjanji untuk menjadi penasehat anak-anak yang rakus, putra Destarastra.
“Eyang, untuk menghentikan peperangan, bunuhlah aku”.
Puntadewa bersujud dihadapan Prabu Salyo. Merasakan pusat konflik ada pada dirinya.
Jalan semakin gelap. Yang sedang berperang, Pandawa dan Kurawa adalah cucu-cucunya sendiri.
Prabu Salyo gampang tersinggung, marah. Merasa perjuangannya tidak dihargai.
Sambil merapal mantra sakti, berteriak, “aku hanya “gentho” seperti kalian.
Ribuan raksasa kecil Candrabirawa keluar dari tubuhnya.
Musuh seperti diserang virus Corona. Jatuh, tersungkur, mati dengan tiba-tiba.
“Saya bosen ikut bapak Salyo” !, diantara mereka mulai menggerutu.
“Sekarang gila harta, gila jabatan, gila dipuja-puja”. Raksasa-raksasa kecil Candrabirawa mulai kocar-kacir, tidak mau baris lagi.
Puntadewa melepaskan anak panah ke langit. Protes pada Dewata.
Raksasa-raksasa kecil Candrabirawa tanggap ing sasmito.
Mata merah membara, Candrabirawa berbalik arah. Panah Cakra Baskara disaut.
“Bapak, sudah sampai waktumu ! Creessss …..
Membelah jantung, tembus ke punggungnya.
Prabu Salyo tetap berdiri. Darah segar mengalir semakin deras.
Melambaikan tangan, “saya minta ma’af pada yang kecipratan darahku.
Puntadewa tidak kemana mana. Panah yang dilepaskan bukan untuk membunuh. Hanya wujud kepasrahan mencari keadilan.
Permintaan ma’af tidak merubah arah Cakra Baskara. Pak Jokowi dan Pak Luhut, hanya melepaskan panah, bukan untuk membunuh. Cakra Baskara hanya sarana alam untuk berbicara ……
*) Penulis: Budayawan yang juga Akademisi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr Riyanto M.Hum.
*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan bukan bagian dari BacaMalang.com.(*)
