Mendidik (bukan) Berarti Among Refleksi pendidikan bagi anak kita ditengah persimpangan zaman

Drs. Mulyono, jurnalis senior Malang Raya yang juga Praktisi Akademisi. (Yan)

Oleh: Drs. Mulyono

Ketika seorang anak lahir kedunia itu seperti selembar kertas yang masih putih bersih, ini adalah jiwa dan kepribadian yang masih polos. Kemudian lingkungan membentuknya dengan berbagai pengalaman hidup, seperti membuat coretan-coretan pada kertas putih itu sehingga terbentuklah kepribadian baru yang telah membentuk watak dan karakter seseorang.

Inilah Teori Kertas Putih atau Teori Tabularasa dari John Locke yang sangat terkenal itu. Teori John Locke mengatakan faktor lingkungan lebih dominan dalam membentuk kepribadian. Kadang pendidikan seseorang menggunakan teori ini.

Ada lagi yang mengatakan bahwa bukan lingkungan yang membentuk kepribadian, tetapi adalah faktor pembawaan asal sejak lahirlah yang dominan menjadikan kepribadian seseorang. Pembawaan asal sejak lahir ini sering disebut fitrah. Inilah Teori Nativisme dari Arthur Schopenhaur. Sekedar untuk kelakar saja, dimasyarakat kita seperti ini dikatakan sebagai “gawane bayi”, yang angel atau sulit dirubah oleh lingkungannya.

Didunia pendidikan teori ini nyaris tidak dipakai. Yang merupakan gabungan dari kedua teori tentang kepribadian di atas tadi, adalah dikemukakan oleh William Stern dengan Teori Konvergensi, dimana untuk membentuk kepribadian seseorang itu kedua faktor sangat dominan, sangat menentukan, yakni faktor fitrah dan faktor pengalaman lingkungan, atau faktor asal dan faktor ajar.
Inilah teori kepribadian yang sering digunakan didalam pendidikan.

Pendidikan bagi anak-anak kita itu sesungguhnya berlangsung di 3 lingkungan yaitu di rumah, di sekolah dan di masyarakat.

Dari ketiga lingkungan pendidikan anak-anak kita itu yang tersingkat adalah di sekolah, karena hanya 7 jam dalam sehari (pada jam pendidikan konvensional), kalau sekolah menggunakan sistem full-day school (sekolah 5 hari) lamanya sekolah bisa 8 jam.

Pendidikan anak-anak di rumah dengan di masyarakat, mana yang lebih lama ?
Pertanyaan ini akan dijawab oleh pertanyaan juga yakni, orangtua apakah lebih lama mendampingi anaknya di rumah ataukah orangtua membiarkan anaknya keluyuran diluar rumah ?

Kalau anak kita biarkan lebih lama di luar rumah tentu anak itu akan diwarnai oleh pendidikan masyarakat. Yang termasuk pendidikan masyarakat itu bisa dilakukan oleh temannya, tetangga, orang lain tak dikenal, buku, medsos, media elektronik termasuk permainan seperti game online.

Jelas tidak bisa dijamin keunggulan kepribadian anak kita jika dididik oleh masyarakat karena tidak ada sistem kontrol yang baik. Dan pola pendidikannya acak bahkan bisa sangat negatif. Tetapi kenyataannya secara actually banyak diantara kita para orangtua ini yang membiarkan anak-anak kita berada di luar rumah…!!

Kita acuhkan mereka, bahkan ada yang malah menitipkan anaknya kepada orang lain sementara kita sibuk mengejar supremasi dunia yang kita inginkan! Kita seolah lupa bahwa tugas kita adalah mendidik secara langsung anak-anak kita di rumah dengan agama, dengan sopan-santun, dengan ketrampilan sederhana, dengan budi-pekerti yang luhur.

Itu semua adalah Among, mendidik yang disertai tanggungjawab secara utuh, dengan perhatian secara utuh, dengan kasih-sayang secara utuh, dan dengan bimbingan serta contoh-contoh kebaikan itulah yang disebut Among.

Sebagaimana Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, pendiri Perguruan Taman Siswa, yang meninggalkan falsafah pendidikan Adi luhung, Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Sebuah falsafah pendidikan yang sangat dahsyat, apakah semua Guru mengetahui maknanya? atau jangan-jangan hanya bisa berucap tanpa makna.

Jadilah orang yang di depan (atau di atas sebagai pejabat) yang bisa menjadi contoh (bukan sekedar memberi contoh, jadilah kalau kita di tengah (ibarat sebagai bukan pejabat) harus bisa membangun kemauan, punya inisiatif, punya etos kerja, dan jika kita ada di belakang (ini yang bermakna tukang Among, sebagai pendidik) hendaknya kita memberi kekuatan, memberi motivasi, memberi bekal pengetahuan untuk kekuatan kepribadian setiap orang. Itulah makna sebenarnya yang harus kita renungkan dan kita aktualisasikan dalam kehidupan masing-masing dari kita.

Zaman telah memasuki persimpangan yang mengharuskan kita bisa memilih ke arah manakah kita dan anak-anak kita harus melangkah. Peradaban dunia telah memasuki masa dimana keberadaan manusia telah terancam secara langsung oleh keberadaan Artificial Intelligence yaitu Kecerdasan Buatan manusia yang sudah di depan mata kita. Segalanya serba automatically serba otomatis!

Para Pendidik sudah jenuh mendidik siswanya, terbukti mereka menggunakan sarana teknologi secara berlebihan ketika proses pembelajaran. Guru menggunakan Aplikasi program komputer yang seharusnya bersifat positif dengan mempermudah sistem penalaran dalam penyerapan materi pelajaran malah menjadi negatif, karena kenyataannya ketika Guru menyajikan materi ajar menggunakan LCD proyektor, malah sang Guru hanya duduk manis di kursi bahkan ada yang ditinggal keluar dari kelasnya untuk kepentingan yang lain.

Ada lagi fenomena Guru memberi tugas diskusi kelas kepada kelompok siswa, alih-alih sang Guru mendampingi dan memberi arahan, justru sebaliknya, malah Guru meninggalkan begitu saja siswanya yang berdiskusi kelas. Pada akhirnya sistem pembelajaran menjadi tidak terkontrol dengan baik sebagaimana rencana ajar.
Banyak lagi fenomena sumbang yang terjadi di sekolah anak-anak kita, meskipun ada juga Guru dan sekolah yang masih berpegang pada visi dan misi pendidikan di sekolahnya.

Kalau kita sebagai orangtua sudah tidak mempedulikan anak kita, kalau kita sebagai Guru sudah melupakan fungsi kita sebagai pendidik bahkan kita tidak lebih dari sekedar kepanjangan tangan dari Google saja di dalam kelas, dan masyarakat kita begitu tega memberikan pengalaman buruk dan negatif kepada anak-anak kita, pertanyaannya adalah Apakah itu yang dimaknai dengan pendidikan yang disebut Among…??

Salam Pendidikan, salam asah, asih, asuh dengan mengasah pola pikir, mengasihi, dan mengasuh anak kita, niscaya merek akan menjadi tiang negara. Pendidikan yang diadakan dengan sistematika pengajaran itulah yang terjadi di sekolah.

Sebenarnya ada istilah Pendidikan Formal yaitu sekolah dan Pendidikan Non-formal yaitu semacam kursus seperti kursus bahasa, kursus tari dan lain-lain. Pendidikan non formal biasanya kita lakukan untuk menambah keilmuan dan ketrampilan anak-anak kita.

*) Drs. Mulyono adalah jurnalis senior Malang Raya yang juga praktisi akademisi.

*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan bukan bagian dari BacaMalang.com