Mengungkap Cerita di Balik Sumber Mata Air di Malang Raya Lewat Buku “Tirta Carita”

Penulis, dan peserta bedah buku "Tirta Carita:Sendang Malang di Cekung Gunung" saat peluncuran di aula Museum Zoologi Frater M. Vianney BHK Malang, Kamis, (31/8/2023). (Nedi Putra AW)

BACAMALANG.COM – Air merupakan sumber kehidupan. Bahkan 70% tubuh manusia terdiri dari air, yang menjadikan air sebagai unsur paling dominan dalam pembentukan tubuh. Hal ini pula yang membuat kebutuhan akan air bersih baik untuk minum, mandi dan sebagainya menjadi mutlak.

Malang yang dikelilingi gunung dikaruniai sumber-sumber mata air melimpah akibat proses geologi pada masa silam. Mata air ini pula yang menjadi pemasok sungai-sungai di Malang Raya. Kondisinya yang subur membuat munculnya perbadaban di Daerah Aliran Sungai (DAS) maupun sumber-sumber mata air itu.

Berangkat dari narasi tersebut, setiap tetes air yang memancar tersembunyi kisah-kisah luar biasa di baliknya berupa folklor, yang melekat dalam benak masyarakat sejak dahulu. Itulah fokus yang ingin diulas dalam buku berjudul “Tirta Carita:Sendang Malang di Cekung Gunung”. Ditulis oleh Latifah, Devan Firmansyah dan Nur Elifianita Susanti, buku ini diluncurkan lewat bedah buku di aula Museum Zoologi Frater M. Vianney BHK Malang, Kamis (31/8/2023).

Latifah mengungkapkan, berkat kerja keras dan kerja sama dengan berbagai pihak, tim penyusun bersyukur akhirnya buku ini dapat diselesaikan. Ia mengatakan buku merupakan kelanjutan dari film dokumenter berjudul sama yang telah diluncurkan pada bulan Mei 2023 lalu, dan kini dapat disaksikan lewat kanal YouTube.

“Selain menghadirkan kisah dari para leluhur kita, buku ini membawa ke sebuah perjalanan untuk memahami hubungan harmonis antara manusia dan lingkungannya,” ujarnya.

Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa Kota Batu ini menambahkan, buku yang didukung LPDP, Kemendikbud dan Dana Indonesiana ini berusaha menyingkap pentingnya folklor dalam menjaga kelestarian alam, karena folklor yang dianut oleh beberapa sumber mata air di Malang Raya terbukti memiliki peran vital dalam menjaga dan melestarikan eskositem, lewat cerita-cerita lisan, legenda, mitologi, maupun tabu.

DR. Mundi Rahayu, dosen Bahasa Inggris UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (tengah), saat mengulas dalam uji petik buku Tirta Carita beberapa waktu lalu. (Nedi Putra AW)

“Kami berharap, buku ini dapat menjadi semangat dalam menguatkan kesadaran kita akan pentingnya menjaga alam dan kearifan lokal. Mengambil inspirasi agar terus beruaha menjaga lingkungan, merawat tradisi dan memberi perhatian lebih terhadap keseimbangan ekosistem yang menyertai kisah di balik setiap sumber mata air,” tandas pimpinan produksi program Kajian Objek Pemajuan Kebudayaan Kearifan Ekologis Folklor Sendang Malang ini. 

Sementara penulis lainnya Nur Elifianita Susanti mengatakan, buku ini membahas titik-titik mata air di Malang Raya dari yang masih eksis maupun yang hampir punah, yang juga memiliki latar tradisi, folklor, religi, sejarah bahkan arkeologi.

“Sumber-sumber mata air itu tersebar di Desa/Kelurahan Songgokerto, Selorejo, Kalisongo, Pisangcandi, Bandulan, Tlogomas, Merjosari, Mojolangu, Mangliawan, dan Kalirejo,” urai peneliti sejarah dan budaya lokal Malang ini.

Penyelesaian buku ini, ungkap Fani, sapaannya, memerlukan proses pematangan yang cukup panjang sejak penelitian lapang yang dilakukan pada akhir tahun 2022 lalu. Kendala yang dihadapai antara lain bagaimana menemui masing-masing juru kunci, cuaca, hingga persyaratan tertentu di sumber mata air yang dikunjungi.

“Seperti pisang untuk monyet di sumber air Wendit, belum lagi perizinan yang tentunya membutuhkan perjuangan,” ujar Sarjana Pendidikan Sarjana Universitas Negeri Malang ini.

Namun beruntung, sebelumnya, Fani bersama Devan telah memiliki modal sosial yang kuat. Sebagai anggota komunitas sejarah Jelajah Jejak Malang (JJM), mereka telah berkelana dan melakukan penelitian di berbagai tempat arkeologis di Malang Raya. Mereka juga telah menelurkan buku ‘Antologi Visual Cerita Rakyat Malang Raya’, salah satu buku yang sejumlah materi di dalamnya menjadi referensi dari buku ‘Tirta Carita’ ini.

“Semoga buku ini bisa bermanfaat bagi semua kalangan, masyarakat dan khusunya generasi muda agar muncul kesadaran untuk melestarikan alam, khususnya sumber mata air di sekitarnya,” tandas penulis buku Toponimi Eks Desa Berbasis Tumbuhan di Kota Malang ini.

Peluncuran buku ini menghadirkan dua pengulas, yakni dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang, Maulfi Syaiful Rizal M.Pd dan Staf Ahli Museum Zoologi Frater. M. Vianney BHK Malang, Dra Denise Resiamini Praptaningsih.

Maulfi Syaiful Rizal menyoroti pentingnya tradisi, yang merupakan bagian dari folklor, memiliki peran penting dalam konservasi alam.   

“Folklor, alam dan kelompok masyarakat merupakan tiga komponen penting yang tidak bisa dipisahkan,” ungkapnya.

Sementara Denise menilai buku ini dapat menjadi rujukan bagi dunia pendidikan, karena benar-benar ditulis secara ilmiah, dengan tabel yang cukup lengkap serta nama-nam latin yang memang sesuai.

“Tapi gaya bahasanya menarik dan mengajak untuk membaca secara ketagihan,” ujarnya.

Mantan guru biologi ini menambahkan, kisah-kisah kearifan lokal sumber mata air dalam buku ini, ternyata berkaitan erat dengan lingkungan yang dikenalnya sebagai orang asli Malang.

“Tentunya menarik sekali mengetahui cerita-cerita menarik maupun folklor yang berkembang di masyarakat selalu mengandung konsep bioindikator dalam ekosistem,” sehingga menimbulkan pemahaman-pemahaman baru,” tandas pengelola museum yang masih enerjik ini.

Sebelum naik cetak, buku ini sempat diulas dalam sebuah uji petik oleh DR. Mundi Rahayu, dosen Bahasa Inggris UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang menyatakan bahwa buku ini sangat menarik, karena sebelumnya belum ada yang membahas ekosistem, ekologi, budaya dan identitas masyarakat terkait sendang atau sumber mata air di Malang Raya.

“Patirtan, sendang atau mata air pasti terkait dengan sejarah, asal-usul komunitas dalam masyarakat, sehingga kearifan lokal yang sebenarnya masih sedikit yang kita ketahui, sehingga buku ini dapat memberi kontribusi penting maupun referensi penting bagi pembaca, dan utamanya kepada para pemangku kepentingan agar tidak terperosok pada tangan-tangan kapitalis maupun manajemen yang tidak profesional,” paparnya.

Pengurus Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Malang ini menambahkan, dari buku ini diceritakan pula bahwa tidak semua sendang punya folklornya sendiri. Oleh karena itu ia berharap masyarakat yang punya kepentingan akan sumber air harus cerdas dan kreatif memunculkan folklor positif agar ekosistemnya dapat terjaga dan berkelanjutan.

“Tapi yang paling penting adalah pemerintah sebagai wasit dan regulator harus berpihak kepada masyarakat bukan kepada pemilik modal atau perusahaan yang berusaha mengeruk untung dari eksploitasi sumber-sumber mata air tersebut,” pungkasnya.   

Pewarta : Nedi Putra AW
Editor/Publisher : Aan Imam Marzuki