Oleh : M. Dwi Cahyono *
Sebutan “Bregodo” menunjuk pada pasukan prajurit Kraton yang mengiringi dan mengawal arak-arakan acara yang digelar Kraton.
Mereka yang sebagian adalah para orang tua. Para prajurit ini terlihat tampil dengan busan Jawa-Eropa, dengan warna yang relatif mencolok (merah, putih gading, hitam, biru).
Pura Mangkunegaran di Solo termasuk yang kini masih memiliki bregodo tersebut. Salah satu satuan bregodonya mengenakan seragam dengan unsur warna biru.
Kali ini, pada Festival Payung Indonesia ke-9, yang selama tiga hari (2 – 4 September 2022) dihelat di Pura Mangkunegaran Solo, ditampilkan “Bregodo Payung”.
Manakala berlangsung sesi acara “Kirab Payung” pada Sabtu sore 2 September 2022, diantara para peserta dari penjuru negeri maupun negara Jiran, tampil satuan prajurit (bregodo) yang tak membawa senjata, alih-alih berpayung besar yang diragakan oleh krus Disparbud Surakata. Oleh karenanya sebutannya adalah “Bregodo Payung”, yang pada lingkungan keraton Surakarta dan Ngayogya- karya disebuti “abdi dalem penyongsong”.
Unsur sebutan “penyongsong” adalah kata jadian, yang dengan kata dasar “songsong (varian sebutannya “sungsung”, yakni payung yang tak dapat ditutup)”. Pada lingkungan keraton terdapat juga abdi dalem perempuan yang pembawa payung besar.
Apakah Bregodo Payung mempunyai akar sejarah di dalam perjalanan Sejarah-Budaya Jawa? Untuk menjawab pertanyaan itu, marilah kita periksa relief di sejumlah candi, seperti Candi Borobudur, Jawi, Penataran, Rimbi, Sukuh, dsb.
Tergambar adanya prajurit yang secara khusus membawa payung. Bahkan, pada suatu iring-iringan yang melibatkan warga dalam keraton, prajurit pembawa payung ini tampak hadir, seperti terlihat pada relief di Candi Jawi, Pendapa Teras II Penataran, dan lebih tua lagi berada di Borobudur.
Pada konteks keberangkatan perang, prajurit pembawa payung pun kedapatan tampil. Bahkan, pada relief Candi Rimbi tergambar seorang prajurit berlari dengan membawa payung. Adapun di halaman I Candi Sukuh, terdapat panel relief lepan yang menggambarkan seorang prajurit membawa payung mengiringi ksatria berkuda diantara para prajurit lain yang bersenjatakan tombak.
Ada kemungkinan, payung prajurit sekaligus memiliki fungsi kemilteran. Makota (ujung) payungnya berupa tombak berbalut “warongko”.
Pada Medan laga, payung bertaji panjang itu sekaligus berfungsi sebagai tombak. Bisa jadi atap payung terbuat dari bahan tertentu (misal kulit hewan atau bahkan logam) yang cukup tahan terhadap serangan senjata lawan, yang dalam hal ini berfungsi sebagai sema- cam “perisai”.
Pada kisah heroik “Perang Jawa atau Perang Diponegoro”: payung sakti Sentot Alibasah Prawiradirja, pendamping Pangeran Diponegoro, melindungi Tuannya dari berondongan peluru para prajurit VOC menggunakan atap payungnya.
Hal ini mengingatkan pepada payung James Bond yang juga “tahan peluru”. Payung yang demikian pada era kasultanan berupa payung besar, yang digunakan sebagai perisai manakala berburu (mbebedak) harimau (simo) di hutan.
Ilustrasi historis diatas memberi cukup alasan untuk menyatakan bahwa konon ada petugas khusus di lingkungan dalam keraton (jron benteng), yang secara khusus mengemban tugas sebagai pembawa payung besar (dalam tulisan ini disebut “Bregodo Payung”, atau “abdi dalem pasongsongan” Jadi, tidaklah mengada-ada apabila pada sesi acara “Kirab Payung” di Fespin ke-9 ini tampil Bregodo Payung.
Penampilannya cukup mencolok. Disamping hadir berkelompok, berada di deret muka pada rangkaian kirab, juga beseragam “ala Jawa-Eropa” yang unik dan mengenakan warna busana yang cukup mencolok.
Barangkali tidak semua penonton, khususnya warga Solo, tergelitik perhatiannya pada Bregodo Payung, karena Bregodo sering mereka saksikan pada kirab keraton.
Namun bagi penulis yang berasal dari luar kota (yakni Malang) dan berlatar sejarahwan, kehadiran Bregodo Payung mengundang perhatian. Maka, saya menelisik akar kesejarahnnya. Demikian tulisan ringkas “oleh-oleh payung mutho” sebagai reportase atas helat Fespin IX. Nuwun.
Pura Mangkunegaran, 2 Agustus 2022
Vidyabuakti CITRALEKHA
*) Dwi Cahyono, Arkeolog, dan Pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang (UM).
*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
