Pemilu, Ajang Penghakiman Pejabat Pengabai Kanjuruhan

Ilustrasi pemilu (ICW)

Tahun 2024 kita akan menghadapi Pemilu. Pemilu kali ini berlangsung serentak baik legislatif tingkat 2, tingkat provinsi, dan juga nasional. Pada beberapa daerah juga menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.

Pasca tragedy Kanjuruhan, terdapat skeptisme beberapa masyarakat Malang raya dan keluarga korban terhadap proses pemilu. Beberapa diantaranya bahkan sudah menyatakan akan golput. Hal ini wajar karena melihat rasa keadilan masih jauh didapat para korban, sehingga mereka merasa tidak percaya akan perlunya patisipasi politik dari mereka.

Namun sesungguhnya, justru dengan berpartisipasi dalam pemilu kita bisa melakukan penghakiman kepada para pejabat yang kurang berperan dalam pencarian keadilan kasus Kanjuruhan.

Di tingkat pusat, kita bisa mencatat ada berapa anggota DPR dari Dapil Malang Raya, lalu tracking peran-perannya seputar Kanjuruhan. Peran itu bisa dalam bentuk kecil seperti mengeluarkan statemen yang berpihak kepada korban, memberi bantuan, hingga bersikap lantang membela korban. Di zaman modern ini kita bisa dengan mudah melakukan tracking tersebut melalui mesin pencari seperti Google.

Dari situ kita bisa memberikan peringkat calon incumbent mana yang memang memihak korban. Memihak korban menjadi penting sebagai symbol memihak rakyat, apalagi masyarakat Malang Raya yang menjadi korban sangat banyak.

Jika tidak ada yang dilakukan, maka dengan mudah kita bisa mencoret para incumbent dari daftar pilih kita.

Hal yang sama ke DPRD tingkat Provinsi. Saya nyaris tidak mendengar ada legislator Provinsi dapil Malang Raya yang turun menjangkau korban. Bahkan statemennya pun kalau pinjam istilah Isuzu Panther: Nyaris tak terdengar.

Paling telak adalah legislator Kabupaten Malang, alih-alih membela korban, mereka malah ikut menginisiasi dukungan kepada renovasi stadion Kanjuruhan. Mundur ke belakang, mereka tidak memveto keputusan Forkopimda Kabupaten Malang yang membuat sidang LP model A dipindah ke PN Surabaya. Pindahnya sidang ke Surabaya membuat mekanisme kontrol masyarakat ke persidangan tidak berjalan, karena pindahnya ke kota yang secara historis memiliki hubungan tidak baik kepada para korban. Akibat pemindahan tersebut tentunya muncul vonis “angin” dengan hukuman ringan kepada para terdakwa.

Balik ke soal renovasi Kanjuruhan, sebagai asset Pemkab maka sebenarnya DPRD Kabupaten Malang memiliki peran penting untuk menolak renovasi. Dengan tidak menolaknya, atau bahkan mendorong renovasi, maka kita bisa menilai kemana anggota DPRD Kabupaten Malang berpihak.

Begitupun para pejabat eksekutif seperti Bupati dan Walikota. Penghakiman terhadap mereka tentu lebih mudah karena mereka dipilih langsung oleh rakyat melalui event Pilkada. Kita tentu ingat bagaimana Walikota Malang menyuruh Aremania demo ke Tuhan merespons aksi usut tuntas yang sempat melumpuhkan Malang kota. Dan bagaimana reaksinya atas kericuhan di kantor Arema FC.

Sedangkan Bupati Malang memang sudah tidak bisa maju lagi karena sudah 2 kali menjabat, namun orang di lingkar Bupati perlu pula dipertimbangkan untuk tidak dipilih. Karena sikap Bupati sangat mungkin dipengaruhi orang di lingkar dalamnya. Siapa mereka? Bisa jadi Wakil Bupati dan pejabat teras Pemkab Malang.

Lantas dengan apa kita bisa “menghukum” para pejabat tersebut? Jawabannya adalah saat Pemilu. Kita bisa menandai mereka-mereka yang tidak berpihak kepada korban, dan kemudian memastikan tidak memilih mereka. Sebagai contoh DPRD Kabupaten Malang, kita bisa melihat data siapa saja dari mereka yang saat ini menjabat dan memastikan nama mereka tidak menjadi pilihan kita. Pilkada 2024 nanti juga saatnya warga Kota Malang yang kurang puas terhadap sikap Walikota untuk “menghukumnya” dengan tidak memilih orang tersebut. Pun begitu dengan masyarakat kabupaten yang perlu menandai mereka-mereka yang kuat mendorong renovasi, termasuk diantaranya para pentolan ormas yang secara “template” mengirim statemen dukungan renovasi stadion Kanjuruhan. Mereka harus masuk daftar hitam pilihan warga Kabupaten Malang.

Perlu disadari bahwa dengan atau tanpa kita mencoblos, Pemilu akan tetap memunculkan hasil. Maka dengan tidak memilih kita tidak akan merubah apapun, sebaliknya dengan memilih kita  bisa membuat mereka yang “tidak layak” atau “terbukti tidak layak” untuk tidak berkuasa (kembali).

Kapan lagi kita bisa merubah komposisi legislator selain saat Pemilu? Kapan lagi kita sebagai rakyat memiliki kuasa ke pejabat selain saat Pemilu?

Maka gunakan hak pilih kita untuk menghukum mereka yang selama ini abai terhadap keadilan korban Kanjuruhan, pastikan nama-nama tersebut tidak kembali menjabat. Pinjam kata-kata Romo Magnis: “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.”

*) Andreas Lucky Lukwira, S.Sos., M.Krim adalah kriminolog, pernah meneliti suporter, pegiat transportasi

*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan bukan bagian dari BacaMalang.com