Peringati 25 tahun Reformasi, INTI Beri Penghargaan Tiga Tokoh Tionghoa Malang Raya di Kosayu

Dr.dr. H. Sugiharta Tandya,Sp PK (Tan Sing Liang); Romo Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ (Liem Tiong Sien); Kolonel Purn. dr. Tirtahamidjaja Rahardja, SpB, FinaCS (Liem Kian Gwan); dan Wakil Ketua Perhimpunan INTI Malang Raya Sudarno Hadipuro usai penganugerahan di SMAK Kolese Santo Yusup, Rabu (25/3/2023). (Nedi Putra AW)

BACAMALANG.COM – Reformasi Indonesia telah menginjak usia yang ke-25 tahun setelah pemerintahan Presiden Soeharto jatuh di bulan Mei 1998. Bulan Mei juga menjadi sejarah kelam dengan timbulnya peristiwa yang dikenal dengan kerusuhan Mei 1998, sebuah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia, khususnya di Ibu Kota Jakarta serta beberapa daerah lain.

Dalam perjalanannya, reformasi masih dihiasi dengan maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lembaga negara, serta lemahnya penegakan hukum. Meski di sisi lain reformasi telah mengembuskan angin segar lewat kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, maupun munculnya lembaga atau badan negara yang menguatkan sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.

Reformasi di Indonesia juga melahirkan banyak organisasi masyarakat, seperti Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) yang dibentuk tahun 1999 di Jakarta dengan visi berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa, antara lain penuntasan masalah Tionghoa menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling menghargai dan saling percaya.

Reformasi juga diperingati INTI Malang Raya dengan Penganugerahan Tokoh Peranakan Tionghoa Malang Raya yang Berjasa Bagi Bangsa di SMAK Kolese Santo Yusup, Rabu (24/5/2023).

Acara bertajuk : “25 Tahun Reformasi Indonesia : Siapakah Aku dalam Masyarakat Indonesia?” ini dihadiri tiga pembicara, yakni sastrawan Sindhunata, akademisi dari Unika Widya Karya Malang DR. Agustinus Indradi dan Cici Ma Chung 2022, Michelle Aveline Gracia Chandra.

Di hadapan sivitas akademi Kolese Santo Yusup, DR. Agustinus Indradi membedah buku karya Sindhu tersebut, sementara  Michelle Aveline Gracia Chandra mencoba memberi motivasi, khususnya kepada para pelajar agar lebih membuka diri dan aktif dengan berbagai kegiatan.

Para pemateri acara “25 Tahun Reformasi Indonesia : Siapakah Aku dalam Masyarakat Indonesia?” menerima cenderamata. (Nedi Putra AW)

Nama Sindhunata sendiri sudah menghiasi dunia literasi Indonesia dengan karya-karyanya, baik itu berupa novel, filsafat, bahkan olahraga dan lain sebagainya. Pria kelahiran 12 Mei 1952 di Kota Batu ini tetap produktif meski usia sudah menginjak kepala tujuh, setelah tahun 2022 lalu meluncurkan novel Anak Bajang Mengayun Bulan, sebuah buku lanjutan dari Anak Bajang Menggiring Angin yang ditulisnya pada tahun 1983.

Tahun ini, Romo Sindhu, begitu ia bisa disapa, meluncurkan kembali dua novelnya yakni Putri Cina (2007) dan Kambing Hitam : Teori Rene Girard (2007) di Bentara Budaya Yogyakarta pada Sabtu, 20 Mei 2023 lalu.

Menurut Sindhu dua buku tersebut patut diluncurkan kembali di sekolah yang berlokasi di kawasan Blimbing karena Hwa Ind, sebutan bagi SMAK Kolese Santo Yusup, dinilai mampu mewartakan nilai-nilai Tionghoa yg positif bagi bangsa Indonesia.

“Itu juga jadi pertanyaan saya seperti di tema kali ini, siapakah aku dalam masyarakat Indonesia? Beranikah Hwa Ind menjawabnya? Tentunya harus berani dan mampu keluar dari eksklusivitas,” ujar budayawan bernama lengkap Gabriel Possenti Sindhunata ini.

Romo Sindhu membeberkan sejumlah orang Tionghoa yang telah berkontribusi bagi bangsa, seperti sejarawan Ong Hok Ham, seniman Didik Nini Thowok, hingga Teguh Srimulat.

Ia juga mengisahkan tokoh dan karya sastra Tionghoa di awal tahun 1900an yang selama ini jarang diketahui publik, bahkan tidak diakui namun turut memperkaya dinamika sastra Indonesia.

Buku Putri Cina ia tulis sebagai kegalauannya melihat bagaimana manusia tidak mau menerima manusia lain sepenuhnya sebagai saudara. Sebuah tragika Jawa dan Cina yang ditelusurinya lewat babad dan sejarah, khususnya Kerusuhan Mei 1998.

“Banyak warga Tionghoa, terutama kaum wanita yang menjadi korban dalam peristiwa itu,” ungkap pria bernama asli Liem Tiong Sien ini.

Sedangkan buku Kambing Hitam : Teori Rene Girard yang ditulis merupakan edisi revisi yang menceritakan mengenai Kesedihan Putri Cina serta orang-orang Tionghoa yang selalu menjadi kambing hitam ketika terjadi pergolakan atau gesekan sosial.

Romo menegaskan, memang tidak mudah melupakan trauma, tapi bagaimanapun manusia harus siap menatap masa depan.

“Jika kita tidak punya pilihan, maka lakukan yang terbaik, jangan takut jadi dirimu apa adanya, karena kejujuran dan ketulusan-lah yang akan jadi penilaiannya bagi kita,” pesannya.

Acara ditutup dengan penganugerahan tokoh peranakan Tionghoa Malang Raya yang berjasa bagi bangsa, antara lain Dr.dr. H. Sugiharta Tandya,Sp PK (Tan Sing Liang) sebagai Tokoh Multikultural Peranakan Tionghoa; Kolonel Purn. dr. Tirtahamidjaja Rahardja, SpB, FinaCS (Liem Kian Gwan) sebagai Tokoh Peranakan Tionghoa Pejuang Sosial Kemasyarakatan Yang Berintegritas serta Romo Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ (Liem Tiong Sien), sebagai Sastrawan dan Budayawan Peranakan Tionghoa yang menginspirasi.

“Apresiasi ini kami berikan karena mereka adalah tokoh-tokoh yang menginspirasi dalam membangun kebangsaan,” tutur Wakil Ketua Perhimpunan INTI Malang Raya, Sudarno Hadipuro kepada BacaMalang.com di sela acara.

Dr.dr. H. Sugiharta Tandya,Sp PK merupakan seorang dokter rendah hati yang sangat berjiwa sosial yang juga ketua DPD PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) dan ketua PSMTI (Peguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia), sementara Kolonel Purn. dr. Tirtahamidjaja selain seorang pejuang, juga salah satu pengurus Yayasan Panti Nirmala. Sedangkan Sindhunata sudah dikenal sebagai satrawan dan budayawan nasional yang menginspirasi lewat tulisan-tulisannya.

“Kami mengawali untuk mengenang seperempat abad reformasi lewat penganugerahan yang pertama kali diberikan, sekaligus memberi wawasan kepada masyarakat khususnya generasi muda di di sekolah ini, bahwa banyak tokoh Tionghoa yang telah nyata berkontribusi dan memberikan baktinya kepada Ibu Pertiwi,” terangnya.

Salah seorang peserta Ratna Kristina, menyambut baik acara ini. Ia menilai sangat penting melestarikan toleransi dan cross-cultural understanding yang  untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Agar kemajuan tidak terhambat, karena zaman sekarang ini dibutuhkan kolaborasi yang tidak memandang sekat-sekat budaya dan asal usul SARA,” tegas Bagian Pemasaran Universitas Ma Chung ini.

Sementara Ketua Pelaksana Antonius Joko Prasetyo menuturkan, peluncuran kembali dua buku ini adalah keinginan dari Romo Sindhu untuk berbagi dengan anak-anak di Hwa Ind.

“Diharapkan sharing ini bermanfaat bagi komunitas kami, khususnya membuka wawasan anak-anak di SMK Kolese Santo Yusup ini,” pungkasnya.

Pewarta : Nedi Putra AW
Editor/Publisher : Aan Imam Marzuki