Perkembangan Konstitusi Menjelang Pemilu 2024

Sekjend DPN Peradi, Imam Hidayat. (ist)

 

Polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden berakhir dengan diputusnya permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Mahkamah konstitusi Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Materi yang diujikan adalah terhadap UUDNRI 1945 Pasal 6 ayat (2) berbunyi “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Pasal ini dimaknai bersifat open legal policy yang didelegasikan langsung oleh Konstitusi kepada pembentuk Undang-Undang (Presiden & DPR). Open legal policy, yaitu adalah ketika UUD 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang.

Dengan demikian, penambahan substansi dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bukanlah wilayah kewenangan MK, dengan putusan ini, MK dapat dinilai melakukan tindakan abuse of power yaitu membangkang amanat dari Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.

Secara prinsip, putusan MK bersifal final and binding, tetapi terdapat proses formil dalam berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Putusan MK secara mutatis mutandis tidak dapat langsung berlaku secara hukum karena diperlukannya sebuah persetujuan perubahan UU Pemilu yang memuat putusan MK tersebut—mengenai penambahan syarat Calon Presiden dan/atau Wapres.

Implikasi putusan MK ini dapat memicu sebuah konflik dan kekacauan hukum menjelang Pemilihan Umum. Pembentukan dan/atau perubahan Peraturan KPU harus didasarkan pada Undang-Undang Pemilu, bukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut dalam Pasal 75 ayat (4) UU Pemilu diatur mengenai kewajiban KPU dalam pembentukan peraturan untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah melalui rapat dengar pendapat. Jika di kemudian hari, KPU mengubah peraturan mengenai persyaratan Calon Presiden/Wapres tanpa melalui prosedur konsultasi sesuai dengan Pasal 75 UU Pemilu dengan argumen menyelaraskan norma dengan putusan MK, maka tindakan KPU tersebut dapat dinilai sebagai sebuah pengingkaran kepada Undang-Undang serta melangkahi DPR & Pemerintah.

Berakhirnya polemik ini dinilai memberikan sebuah impresi negatif dan bahkan mendegradasi marwah dan kewibawaan dari UUD 1945 dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Putusan ini juga memberikan sebuah lapor merah dalam penegakan Rule of Law di Indonesia, serta berpotensi mengacaukan ketertiban hukum yang dibangun dengan perjuangan semangat reformasi.

*) Penulis : Imam Hidayat (Praktisi Hukum, Sekjend DPN PERADI)

*) Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi BacaMalang.con