Seperti Apa Film Tirta Carita? Simak Pendapat Mereka

Dari kiri- La Ode Rabani, Denise Resiamini Praptaningsih, Latifah, Prof. Djoko Saryono, Wawan Eko Yulianto dan Raymond Valiant Ruritan di sela peluncuran Film Dokumenter pendek "Tirta Carita: Sendang Malang di Cekung Gunung" di Mopic Sinema, Jl Soekarno Hatta Kota Malang, Minggu (21/5/2023). (Nedi Putra AW)

BACAMALANG.COM – Peluncuran Film Dokumenter pendek “Tirta Carita: Sendang Malang di Cekung Gunung” di Mopic Sinema, Jl Soekarno Hatta Kota Malang, Minggu (21/5/2023) dihadiri sejumlah undangan dari berbagai kalangan, mulai akademisi, pelajar, aktivis, birokrat, pegiat budaya maupun narasumber dari film tersebut.

Setelah sambutan dari  Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Kota Malang Baihaqi, acara dilanjutkan dengan bincang film yang menghadirkan para narasumber sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya, La Ode Rabani; Staf Ahli Museum Zoologi Fr M. Fianney BHK Malang Denise Resiamini Praptaningsih, dan Wawan Eko Yulianto, Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang, serta testimoni dari para penonton.

La Ode Rabani memberi apresiasi dengan beberapa alasan, salah satunya film ini berisi sejarah masa lalu yang berhasil mempertahankan ekologi dan sumber mata air melalui penciptaan hukum berbasis kearifan lokal dengan mitos, legenda dan folklore.

“Film ini juga sangat inspiratif untuk membangun kesadaran memelihara lingkungan berbasis pada pengetahuan dan pemahaman sejarah, menginspirasi lahirnya film-film bertema sejarah ekologi dan kearifan lokal dari daerah lain, dan dari sisi pendidikan sangat baik untuk menggugah kesadaran generasi muda dalam mempertahankan mata air sebagai sumber kehidupan,” bebernya.

Lewat film ini, imbuhnya, masyarakat diyakinkan bahwa kontribusi sejarah lingkungan tidak melulu tentang masa lalu, namun juga tentang pengetahuan masa depan yang wajib dijalankan.

“Beberapa saran saya berikan demi kebaikan film ini, antara lain dirasa penting ada terjemahan untuk bahasa-bahasa lokal yang digunakan agar para penonton memahami bahasa Jawa, serta keterangan pustaka yang dirujuk dari sumber visual,” tandasnya.

Sementara Denise Resiamini Praptaningsih menilai Tirta Carita cukup jeli dalam memaparkan ekosistem perairan air tawar maupun ajakan untuk berkonservasi alam melalui kesenian atau kebudayaan.

Achmad Berlin Rifai dari Komunitas Sapu Bersih Sampah Nyemplung Kali atau Sabers Pungli Batu saat menyampaikan testimoninya. (Nedi Putra AW)

“Oleh karena itu saya rasa film ini sangat baik sebagai media pembelajaran bagi para pelajar dan generasi muda umumnya, dan akan saya pakai setelah ini lewat pemutaran di tempat kami,” ungkapnya.

Denise berharap film ini dapat segera diputar di berbagai tempat, mengingat pembelajaran melalui audio visual yang menarik, pesan-pesan di dalamnya akan lebih dapat tersampaikan.

Wawan Eko Yulianto juga mengapresiasi hadirnya Tirta Carita, karena mampu mengembalikan topik tentang pentingnya konservasi di tengah maraknya perbincangan tentang Tri Bina Cita di Kota Malang akhir-akhir ini.

“Setidaknya film ini menyadarkan masyarakat dari mana asal air yang kita pergunakan sehari-hari serta bagian yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya tentang sumber mata air tersebut, baik informasinya maupun folklorenya,” jelasnya.

Dikatakan Wawan, dari film ini bisa kembali dipelajari bagaimana membuat sebuah metode konservasi sumber mata air yang dapat diterapkan saat ini.

“Jadi usahanya lebih kepada mencari metode baru dari apa yang membuat folklore-folklore tersebut berhasil,” tegasnya.

Wawan juga berharap, buku Tirta Carita yang akan terbit setelah ini akan memunculkan lebih banyak folklore tentang sumber mata air.

Dari undangan yang hadir, komikus Aji Prasetyo sangat berharap film ini seharusnya disaksikan para pemangku kebijakan

“Mengingat beberapa tahun yang lalu ada kasus pendirian bangunan hotel yang membahayakan debit sumber mata air,” tegasnya.

Lewat film ini, Aji juga berharap generasi muda seharusnya memiliki kesadaran penuh untuk memulai konservasi dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan Achmad Berlin Rifai dari Komunitas Sapu Bersih Sampah Nyemplung Kali atau Sabers Pungli Batu menjelaskan, bahwa air merupakan sumber kehidupan, penyembuh peradaban.

“Air diibaratkan seperti ibu yang memberikan nadi pada kehidupan masyarakat, sehingga diharapkan dengan adanya film Tirta Carita maka akan ada pertaubatan generasi muda dalam memanfaatkan air,” tukasnya.

Berlin juga mengapresiasi hadirnya film yang kembali mengakat isu pentingnya konservasi lingkungan, khususnya sumber mata air saat ini.

“Pihak kami dengan tim produksi belum pernah bersentuhan secara langsung, namun lega rasanya bahwa film ini ikut menjalankan sebagian tugas kita dalam bersama-sama menjaga kelestarian alam,” ujarnya.

Film Tirta Carita juga menjadi sangat berkesan bagi Rupi’atin dan Sholeh, pasangan suami istri yang juga juru pelihara Sendang Widodaren Sumber Mata Air Wendit ini.

“Menyenangkan bagi kami yang jarang pergi kemana-mana, akhirnya bisa tahu sumber-sumber mata air lainnya yang ada di Malang,” ungkap Rupi’atin.

Bahkan secara pribadi, Rupi’atin merasa sangat bangga menjadi penjaga di punden dan sendang, yang rasanya lain daripada yang lain, sebagai bagian dari elemen pelestarian alam seperti pesan yang disampaikan dalam film ini.

Ia mengaku selama ini selalu berusaha menjalankan tugas menjaga kebersihan dan kelestarian sendang Widodaren bersama suaminya sesuai dengan kapasitasnya.

“Sejak dahulu, setiap ada tamu yang membuat acara di sini selalu ada program penanaman pohon, seperti yang akan kami lakukan bersama salah satu komunitas dalam waktu dekat terkait Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Juni mendatang,” paparnya.

Senada dengan Aji Prasetyo, Rupi’atin sangat berharap film ini nantinya disaksikan oleh para pemangku kebijakan.

“Agar semua tahu kondisi masing-masing sendang, termasuk di Wendit ya seperti itu,” pungkasnya.

Film “Tirta Carita: Sendang Malang di Cekung Gunung” ini merupakan program pemajuan kebudayaan dari dana Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Kemendikbud. Tim produksi terdiri dari antara lain produser Latifah, sutradara Subiyanto, serta sejumlah narasumber seperti Budayawan Malang Prof. Djoko Saryono; Direktur Utama Perum Jasa Tirta I (2018-2023) Dr. Raymond Valiant Ruritan; dan anggota Lembaga Adat Desa Andalan Konservasi (LANDAK) Sabuk Gunung Kawi – Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Sri Wanto.

Pewarta : Nedi Putra AW
Editor/Publisher : Aan Imam Marzuki