Solusi Penghijauan dan Pengurangan Polusi Udara di Lahan Sempit, Mahasiswa UM Hadirkan Inovasi Media Tanam Living Bricks

Lima mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) dengan Inovasi Media Tanam Living Bricks. (ist)

BACAMALANG.COM – Tingkat polusi di Indonesia termasuk dalam skala yang mengkhawatirkan. Dikutip dari Air Quality Life Index (AQLI) pada tahun 2022, Indonesia mengalami kekurangan udara bersih dengan menempati peringkat ke 17 dari 129 negara.

Kualitas udara di Indonesia semakin memburuk dengan tingginya emisi gas karbon akibat banyaknya polutan yang masuk ke udara, salah satunya adalah karena semakin berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Berangkat dari hal tersebut, lima mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) yakni Dimas Abdillah, Mariatul Kiftiyah, Achmad Jalaludin, Siti Fadilatul Rahmadani, dan Ulfa Rahmawati mencoba mengatasi permasalahan polusi udara dengan melakukan inovasi Living Bricks, sebuah media berbentuk batu bata dengan bahan organik miselium jamur sebagai biokomposit termodifikasi efek relaksasi, ramah lingkungan, dan berdaya serap rendah.

Siti Fadilatul Rahmadani, mengungkapkan, ide membuat Living Bricks ini muncul karena masalah kependudukan, mulai dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang meningkat secara signifikan serta penyebaran penduduk yang tidak merata, yang menyebabkan konversi lahan perkebunan untuk perumahan, sehingga RTH menjadi sempit.

“Oleh karena itu perlu adanya suatu inovasi yang memiliki peluang dan menjawab permasalahan serta sesuai dengan tren kekinian, sehingga kami membuat Living Bricks sebagai media tanam organik berbentuk batu bata dengan miselium jamur sebagai biokomposit termodifikasi efek relaksasi, ramah lingkungan, dan berdaya serap rendah sangat bermanfaat untuk masyarakat kota di lahan sempit,” ujarnya didampingi Achmad Jalaludin saat ditemui BacaMalang.com di Greenhouse UM, Selasa (7/11/2023).

Siti juga menyebutkan, kepadatan penduduk yang tinggi akan kebutuhan mebel, maraknya coffee shop, potensi dataran rendah akan sumber daya kelapa dan padi meninggalkan berbagai macam limbah mulai dari serbuk kayu sengon, ampas kopi, bekatul hingga cocopeat.

“Keterlimpahan limbah ini dapat dimanfaatkan menjadi suatu produk yang berguna untuk mengurangi polusi udara dan menjawab kebutuhan masyarakat akan pendingin ruangan. Limbah industri mebel dan rumah tangga sangat potensial untuk dijadikan media tanam,” terangnya.

Terkait pemilihan jamur, mahasiswa Pendidikan Biologi ini mengatakan bahwa pihaknya mengacu dari jurnal luar negeri yang menyebutkan bahwa jamur lebih kuat 40 persen daripada batu merah tradisonal yang dibuat dengan pembakaran.

Ia menambahkan, Living Bricks sebagai batu bata ajaib menjadi produk 6 in 1 yang memiliki 6 manfaat atau keunggulan dalam 1 produk.

Manfaat pertama adalah efek relaksasi, dimana media tanam ini mampu memunculkan aroma segar hasil inovasi dari limbah ampas kopi, sehingga Living Bricks hadir dengan tampilan yang menyejukkan lingkungan dan dapat meredakan stres ataupun depresi.

“Keunggulan kedua adalah kandungan zat hara yang tinggi, hal ini disebabkan guna memunculkan miselium jamur, kami membuat baglog jamur tiram putih dengan komposisi serbuk kayu sengon sebesar 35%, bekatul 20%, kapur 6%, gips 1,5%, cocopeat 7,5%, ampas kopi 20%, dan fly ash sebesar 10%. Semua bahan dasar ini memiliki kandungan selulosa, lignin, dan hemiselulosa yang dapat menjadi nutrisi untuk tanaman, sehingga tanpa dibutuhkan perawatan yang intens saat menanam tanaman menggunakan Living Bricks,” ucapnya.

Keunggulan yang ketiga, imbuhnya, Living Bicks berdaya serap rendah, serta meningkatkan sirkulasi udara di sekitar akar tanaman yang mengurangi risiko kematian akibat terlalu lembab sehingga timbul sarang penyakit pada tanaman.

Selain itu Living Bricks menggunakan cocopeat dengan kandungan trichoderma molds nya yang mampu mengendalikan hama tanaman sehingga menjadi keunggulan yang keempat yaitu resisten terhadap hama.

Sementara kemampuan drainase yang optimal akibat permukaan Living Bricks yang berpori menjadi keunggulan kelima yaitu menghindari genangan air secara berlebihan sehingga tidak menyebabkan pembusukan akar tanaman dengan kata lain produk Living Bricks memiliki daya durabilitas yang tinggi.

“Produk kami menjadi praktis dan efisien untuk urban farming, karena berbentuk batu bata yang dapat digunakan alternatif metode vertical garden dengan keunggulan hemat dan mudah, tidak lagi memerlukan pot sebagai tempat menanam biji, tetapi Living Bricks menyediakan tempat untuk menanam biji secara langsung pada struktur batu bata miselium tersebut. Kondisi ini menjadikan konsumen tidak perlu membeli rak untuk tempat menggantungkan pot, karena Living Bricks dapat disusun layaknya dinding rumah yang sangat cocok untuk lahan sempit,” bebernya.

Siti menegaskan, Living Bricks merupakan inovasi kewirausahaan, sehingga selain bahan penelitian, produk dari tim di bawah dosen pembimbing Nur`aini Kartikasari S.Si, M.Sc ini juga dapat dijual.

“Penjualan ini pun bukan hanya mengejar keuntungan saja, tapi bagaiaman ada dampak terhadap Sustainable Deveopment Goals (SDGs) untuk keberlanjutan pembangunan yang lebih baik,” ujarnya.

Dikatakan Siti, produk ini dijual per paket yang berisi 10 batu bata dengan harga Rp. 2.000 per batu bata.

“Jadi dengan harga per paket yang sangat terjangkau hanya dengan Rp. 20.000 saja, maka konsumen dapat menempel batu bata tersebut dengan semen di dinding dengan tanaman-tanaman seperti paku-pakuan yang relatif mudah dalam perawatannya,” tandasnya.

Pewarta : Nedi Putra AW

Editor/Publisher : Aan Imam Marzuki