
BACAMALANG.COM – Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) adalah sebuah festival tahunan yang selalu berusaha menonjolkan relevansi pemikiran-pemikiran mengenai nusantara dalam kehidupan.
Dalam 12 tahun perjalanannya, BWCF selalu mengangkat kajian-kajian serius tentang topik tertentu dalam khazanah nusantara.
Selalu dalam setiap penyelenggaraanya, BWCF mendatangkan puluhan pakar lintas disiplin dari arkeologi, sejarah, antropologi sampai filologi.
Diharapkan dengan adanya forum ini, kekayaan pemikiran nusantara dapat terangkat kembali dan dikenali oleh khalayak luas termasuk generasi milenial.
Founder BWCF Seno Joko Suyono menuturkan, salah satu strateginya adalah berusaha mengangkat kembali disertasi atau buku monumental seorang ilmuwan yang mengkaji nusantara untuk dieksplorasi gagasan-gagasannya demi pemajuan kesenian dan kebudayaan kontemporer Indonesia.
“BWCF pernah mengangkat tema Ratu Adil yang dibahas dalam disertasi milik sejarawan Peter Carey mengenai Diponegoro, sementara sebelumnya juga pernah mengangkat disertasi milik Romo Zoetmulder tentang teologi Jawa yaitu Manunggaling Kawula Gusti, serta pemikiran Claire Holt, peneliti Amerika yang di tahun 60-an menulis sebuah buku sangat berpengaruh di lingkungan akademis tentang sejarah seni di nusantara dengan judul Art in Indonesia: Continuities and Change,” paparnya, dalam keterangan tertulis yang disampaikan kepada BacaMalang.com, Rabu (15/11/2023).
Tahun 2022, imbuh dia, BWCF mengangkat pemikiran arkeolog Hariani Santiko, lewat disertasinya yang dipertahankan di Universitas Indonesia tahun 1987 berjudul Kedudukan Batari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi.
“Disertasi tersebut kami anggap sangat penting dan langka karena menyajikan data dan dokumen mengenai salah satu heritage arkeologi kita yang hebat tetapi dilupakan dan jarang dibahas: arca-arca Durga,” tukas pria yang juga penyair ini.
Seno menjelaskan tahun 2023 ini, giliran spektrum pemikiran Prof. Edi Sedyawatii yang dipilih sebagai tema utama BWCF di Malang, tepatnya di kampus Universitas Negeri Malang (UM).
Ia membeberkan, Prof. Edi Sedyawati wafat pada 11 November tahun lalu dalam usianya yang ke 84 tahun. Mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Ri periode 1993-1998 ini dikenal sebagai sosok intelektual yang memiliki banyak dimensi pemikiran.
Prof. Edi Sedyawati juga seorang arkeolog yang mumpuni, pengamat tari, dan juga penari, yang luas pengetahuannya akan karya tari baik tradisi maupun modern.
Disertasi Edi Sedyawati berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian sama pentingnya dengan disertasi Hariani Santiko. Durga (Parwati), Agastya dan Ganesha dikenal adalah pantheon utama Hindu.
“Dan pada November tahun ini adalah setahun meninggalnya beliau, sehingga BWCF bermaksud menggelar sebuah festival yang merayakan pemikiran Edi Sedyawati. Sejumlah acara mulai dari pidato kebudayaan, launching buku, dokumenter, lecture, bazar buku, serta workshop yang berkaitan dengan dunia arkeologi dan tari yang digeluti oleh Prof. Edi Sedyawati, hingga pergelaran seni pertunjukan dan sastra,” ujar kurator progam BWCF ini.
Adapun alasan mengapa lokasi BWCF yang lebih dari satu dekade di Provinsi DIY dan Jawa Tengah tahun ini dilaksanakan di Malang, ungkap Seno, karena mengingat disertasi Prof. Edi Sedyawati terkait arca-arca Ganesha yang ditemukan dari sekitar Malang, Kediri, dan Singosari.
“Kedua, dengan diadakannya BWCF 2023 di Malang, tribute dan penghormatan terhadap almarhum Prof. Dr. Edi Sedyawati yang merupakan kelahiran Malang ini menjadi sangat kontekstual,” tegas redaktur di salah satu media nasional ini.
Seluruh acara bertajuk Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Repartriasi Benda-Benda Purbakala Indonesia ini akan dilaksanakan selama 5 hari di kampus Universitas Negeri Malang (UM) mulai 23 hingga 27 November 2023.
Sejumlah acara pendampingnya meliputi ceramah-ceramah arkeologi dan seni, pemutaran film yang berkaitan dengan arkeologi, tari sampai pertunjukan seni dan sastra.
“Kami merencanakan menampilkan pre-opening di tanggal 23 November 2023 pada siang hari di Gedung Heritage KPPN Malang berupa pemutaran film terbaru sutradara Nia Dinata berjudul ‘Unearthing Muara Jambi’, dilanjutkan Opening yang akan berlangsung pukul 19.00 di kampus UM dengan acara inti Pidato Kebudayaan Prof. Dr. Arlo Griffiths mengenai Prasasti Minto yang sekarang ada di Skotlandia,” terang penulis skenario film tari Mahendraparvata itu.
Festival ini akan menghadirkan bazar buku dari puluhan penerbit yang menampilkan buku-buku sejarah, Buddha-Hindu dan humaniora, serta diskusi buku-buku arkeologi terbaru, menyajikan progam meditasi, mengundang para novelis seperti Leila S. Chudori, mengundang puluhan penyair muda, mengadakan malam pertunjukan tari kontemporer yang berbasis tradisi, pemutaran film tari, workshop tari, dan pertunjukan musik.
“Pada pertunjukan tari, kami akan menghadirkan pertunjukan tari Kecak Teges yang dibawakan oleh I Ketut Rina bersama puluhan warga Desa Teges , Peliatan Ubud, Gianyar, Bali. Cak Rina awalnya diciptakan oleh Sardono W. Kusumo. Pada tahun 1971, ia mengajak para petani Desa Teges Bali untuk membuat sebuah Cak eksprimental yang format koreografinya tidak seperti cak baku yang dibuat oleh Walter Spies. Saat ini, Ketut Rina masih anak-anak. Dan ia anggota terkecil. Sekarang Kecak Teges ini dilanjutkan oleh Ketut Rina,” ungkap pria asal Malang ini.
Pada malam sastra, lanjut Seno, BWCF akan menyajikan pembacaan sajak oleh Sutardji Calzoum Bachri, penyair legendaris yang kini usianya 80-an. Sutardji akan didampingi oleh Afrizal Malna, Jose Rizal Manoa, dan penyair Malang bernama Tengsoe Tjahyono.
Sementara sebagai penutup seluruh rangkaian mata acara pada tanggal 27 November 2023, akan ditampilkan Pidato Kebudayaan penutupan dari Prof. Dr. Cecep Eka Permana berjudul “Membaca Ulang Seni Indonesia Purba: Gambar Cadas di Goa-Goa Maros Sulawesi dan Sangkulirang Kalimantan”, dan diakhiri pertunjukan musik oleh kelompok Lordjhu dan Nova Ruth, musisi wanita asal Malang yang telah berkeliling dengan kapal layar untuk menyuarakan pelestarian lingkungan hidup lewat seni.
“Kedua komunitas band tersebut merupakan band pop eksprimental yang sangat mengolah unsur-unsur tradisi,” tandasnya.
Pewarta : Nedi Putra AW
Editor/Publisher : Aan Imam Marzuki