BACAMALANG.COM – Marak diberitakan media, posisi Indonesia dalam jumlah kasus TBC menjadi peringkat ke-2 terbanyak dunia (969 ribu) di bawah India 2,1 juta dan China yang mestinya nomor dua sekarang menjadi posisi ketiga.
Dilihat dari incidence ratenya, tahun 2019 berada di 301 per 100.000 atau setara 824.000 kasus baru setiap tahun, namun di 2021, naik incidence ratenya 356 per 100.000 atau setara dengan 969.000 kasus baru setiap tahun.
Tuberkulosis atau TB adalah salah satu penyakit menular disebabkan infeksi bakteri (Mycobacterium tuberculosis), berpotensi menyerang berbagai organ tubuh, salah satunya paru-paru.
Ada sejumlah kendala dalam menangani kasus TBC di Indonesia, salah satunya yaitu melakukan tracing dan penanganan terhadap pasien TB laten.
“Selain penanganan TB laten (belum ada gejala klinis) rendah, ada pula kasus TB resistensi obat (RO) yang jumlahnya naik,” tegas Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Malang dr Umar Usman MM kepada BacaMalang.com, Sabtu (29/7/2023).
Dikatakannya, TB RO meningkat karena masyarakat belum tersosialisasi dengan baik, semisal diobati dua bulan, merasa sehat, putus obat, lalu balik lagi obat, dan lama-lama menjadi TB RO.
“TB RO jadi masalah karena sulit (ditangani), angka kematiannya tinggi, dan penularannya kalau orang sudah TB RO ditularkan ke orang lain pasti akan TB RO juga,” tukas pria alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini.
Dijelaskannya, penularan terjadi secara droplet, yaitu ketika seseorang tidak sengaja menghirup percikan ludah dari orang lain pengidap TB, dan paling sering melalui batuk atau bersin, sehingga risikonya cukup tinggi.
Tahap infeksi bakteri pada pengidap TB melewati tiga tahapan, yakni : infeksi primer, laten, dan aktif.
Pada tahap infeksi Primer, terjadi saat udara mengandung bakteri penyebab TB terhirup oleh hidung atau mulut, hingga masuk paru-paru dan berkembang biak.
Sedangkan untuk Infeksi Laten, ketika bakteri mulai berkembang, sistem imun akan melakukan perlawanan, bakteri akan “tertidur” (pura-pura) dan tidak aktif menginfeksi, sehingga, orang yang terinfeksi tidak akan merasa gejala apapun.
Sementara untuk Infeksi aktif, kondisinya sebaliknya, saat imun tubuh tidak berhasil melawan bakteri yang masuk dan berkembang biak, maka bakteri akan bebas menyerang sel-sel sehat pada paru-paru hingga pengidapnya merasakan gejala.
Perlu diketahui TB Paru mempunyai ciri-ciri memunculkan gejala utama yakni : sesak nafas, batuk berlangsung lama hingga lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, dada terasa nyeri, demam, menggigil, mudah lelah, berat badan turun drastis, nafsu makan menghilang, dan berkeringat di malam hari.
Kemunculan gejala-gejala tersebut biasanya akan berbeda di beberapa orang, sehingga antara satu dan lainnya tidak bisa dijadikan sebagai acuan.
“Jika ada yang merasakan beberapa gejala tersebut, sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter,” urai pria yang juga Wakil Ketua PC NU Kabupaten Malang ini.
Diungkapkannya, untuk diagnosis, biasanya dokter melakukan pemeriksaan pada kelenjar getah bening guna mengidentifikasi pembengkakan paru-paru, salah satunya Tes Darah untuk mengukur reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Nantinya diketahui apakah seseorang memiliki TB laten atau aktif.
Tes berikut yakni Tes Dahak: Setelah melakukan rontgen dada dan dokter menemukan indikasi TB, maka akan dilakukan tes dahak untuk mengetahui obat yang cocok bagi pengidapnya.
Kemudian ada pula, Tes Mantoux, menggunakan alat bernama Tuberculin Skin Test, untuk menyuntikkan zat tuberkulin di bawah kulit lengan, selanjutnya dalam 48-72 jam, dokter memeriksa pembengkakan pada posisi penyuntikan, bila timbul benjolan merah pada ukuran tertentu, maka seseorang dinyatakan kemungkinan positif TBC.
dr Umar menuturkan, saat seseorang mengidap TB paru dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat, maka kemungkinan komplikasi bisa terjadi, yakni seiring perkembangannya, bakteri TB paru juga menyebar ke bagian tubuh lainnya, berdampak pada kerusakan sendi, kelainan pada jantung, nyeri punggung, masalah pada ginjal dan hati, serta peradangan selaput otak atau meningitis.
Diungkapkannya, untuk pengobatan TB Paru yakni biasanya, dokter menganjurkan pengidap mengonsumsi obat selama 6-12 bulan.
Obat TB paru umumnya mengandung jenis antituberkulosis, yaitu antibiotik khusus digunakan mematikan infeksi bakteri TB, melalui 2 tahap yaitu intensif dan lanjutan.
Pria berjuluk Dokter Rakyat ini memaparkan beberapa obat TBC paru yang bisa digunakan tahap pengobatan pertama : Pyrazinamide, Isoniazid, Streptomisin, Rifampin, dan Ethambutol.
Ketika seseorang mengalami resisten terhadap obat antituberkulosis, maka Ia harus menjalani pengobatan lini kedua menggunakan obat TBC paru antara lain : Pyrazinamide, Amikacin bisa diganti dengan kanamycin Ethionamide atau prothionamide, Cycloserine atau PAS, Capreomycin
Para-aminosalicylic acid (PAS), Ciprofloxacin, Ofloxacin, Levofloxacin.
Sementara, pencegahan TB adalah dengan memberikan suntikan vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin) yang biasanya diberikan kepada bayi dan anak-anak pada saat masa imunisasi sebanyak satu kali.
“Intinya tetaplah tenang dan waspada. Jika merasakan gejala awal, harus segera berobat. Selanjutnya jika mengalami gejala berkelanjutan, jangan ragu untuk menemui dokter,” pungkasnya.
Pewarta : Hadi Triswanto
Editor/Publisher : Aan Imam Marzuki