Oleh: Pietra Widiadi*
Hujan sudah datang sejak siang hari, makin sore sepertinya tidak akan berhenti. Jarak dari Pendopo Kembangkopi hanya 12.5 Km, Sumbersuko Wagir dan Kranggan, Ngajum hanya sekayuh sepeda turun dari lereng Kawi.
Jarak ini melewati Dusun Banaran dan Desa Kasemben, di mana sepanjang jalan itu pada hari-hari besar Hindu Dharma akan dipenuhi penjor.
Di Malang, di lereng Gunung Kawi, di Jawa warga Hindu seperti suasana di Bali, sama dan berbeda.
Ini Jawi, di lereng Gunung Kawi. Petang itu, menjelang pukul 20.00 WIB masih gerimis dan kadang diselingi hujan deras.
Saya perjalanan srawung, ke sanggar tari Sailendra yang malam Sabtu Wage menggelar Wayang Topeng dengan lakon Rabine (é) Abimanyu dengan dalang Ki Asnam Wibowo.
Bersama dengan teman-teman dari Wonogiri, Jawa Tengah yang sedang belajar tentang metode pembangunan masyarakat yang disebut Pendekatan Penghidupan Lestari (Sustainable Livelihood Approach) di Pendopo Kembangkopi menuju Kranggan beriringan dengan hujan.
Sampai di Kranggan, para aktor Wayang Topeng sedang berias. Srawung dalam gelaran ini, seperti pertemuan pada maestro, ada Mbah Yongki Irawan, sesepuh budaya di Malang, lalu dengan Sam Suroso seorang penata tari Topeng Malangan yang dikenal dari Sanggar Kedungmonggo, Sam Winarto Ekram penari ulung dari Pendem, lereng Gunung Wukir, Batu. Dan komunitas seni dan tari dari seantero Malang.
Wayang topeng malam itu digelar sampai dengan Subuh, yaitu sepanjang Sabtu Wage, menjelang mentari akan menyinari bumi Tumapel.
Kaum muda, begitu antusias, menari, juga memukul gamelan yang jelas menunjukkan wiyogo handal, anak-anak, bahkan balita mondar-mandir di depan panggung ditemani orang tua, kakek atau nenek mereka.
Inilah teater rakyat, teater yang dilakonkan tanpa keluhan soal biaya kemahalan dan keluh tidak dihargai.
Pertunjukan dibuka dengan Beskalan, seperti halnya Ngremo pada pembukaan pergelaran Ludruk.
Salah satu penari Beskalan, masih usia 10 tahun, membanggakan dan mengagumkan.
Sementara dunia gawai dan serangkaian drakor serta K-Pop dari medsos menggempur tiada abisnya.
Di Kranggan, Ngajum Kabupaten Malang, laku tari Topeng dengan pentas adiluhung, masih berjalan.
Ini sebuah paradoks yang lebar.
Ketakutan akan budaya asing, dan teriak-teriak soal pertunjukan seni daerah sepi.
Para seniman daerah di perkotaan, minta subsidi pemerintah untuk menghidupkan karyanya, menetapkan harga karcis untuk pertunjukannya.
Di Kranggan, di lereng Gunung Kawi sisi Tenggara gelaran tari ini terbuka untuk umum, dinikmati oleh segara usia dan kalangan manapun boleh hadir.
Bahkan dapat menikmati hidangan karya kaum perempuan yang hadir dalam gelaran ini secara biodo (kerja bakti buat hidangan para tamu dalam hajatan apapun yang dilakukan oleh kaum perempuan, kecil sampai nenek-nenek).
Tak kalah, hal yang sama dilakukan oleh kaum pria, mereka nyinom, biasanya menyiapkan tempat buat Jenang (baca Dodol) dan mengantarkan hidangan kepada para tamu.
Ini bukan pertunjukan, ini adalah karya warga yang masih menjalankan seni tradisi yang menjadi gelar budaya.
Inilah budaya warga, kehadiran para tamu dengan beragam busana, ada yang pakai daster, ada yang pakai baju pansi, sarungan atau blangkon dan pakai udeng.
Siapa bilang kita makin punah? Tentu masih banyak yang tetap bergaya seperti koboi, pakai jin biru atau kemeja pake bleser, loakan.
Gelaran ini disebut dengan “Ngebyak Topeng Purwo” dengan lakon “Rabine Abimanyu” sebuah gelaran yang biasa dilakukan pada saat hajatan.
Sebenarnya tidak hanya tari Topeng, jaranan dan bantengan juga biasa dilakukan pada acara hajatan di desa-desa lereng Kawi.
Ngebyak (baca pertunjukan umum yang bisa ditonton secara gratis), atau mbuka atau mempertunjukkan sebuah kreasi seni.
Ini berupa tabuhan gamelan, tari dari para penari tua-muda dan tarik suara para pesinden sebagai olah orkestrasi dari sebuah budaya Daerah.
Selaras dalam keperbedaan karya dan model seni, masih lestari. Masih ada dan ini menjadi sebuah kebanggan.
Gempuran budaya barat yang mengubah cara berbusana dari jarit, pansi atau daster menjadi celana jin, lalu nyinden, mocopat dan gesek rebab diganti jingkrak-jingkrak ala raper Korea, ternyata tidak ada di gelaran ini.
Inilah benteng budaya, inilah benteng cara berkehidupan warga yang masih mempertahankan jati diri dan warga negeri ini.
Jawa, Jawi adalah kekayaan khasanah, tanah majemuk di negeri penuh curahan sang Mentari.
Gebyak tari topeng Purwo, adalah cara menunjukkan bahwa kita tidak kalah.
Setelah Kranggan, maka akan ke Permanu, naik lagi ke Kesamben, mendaki Gunung Katu dan turun menuju ke Sumberpang, Sumbersuko menuju Gondowangi dengan menjejak wayang Krucil, lalu ke Pangrango menuju Jedong menapak pada pura
Pura Ukir Rahtau Luhur di Wagir masih bersebelahan dengan Ngajum yang bisa menuju ke Kraton Gunung Kawi dengan berkunjung ke Pura Girikawijayan, pintu menuju salah satu puncak Gunung Kawi, yaitu puncak Pitra.
*) Penulis : Founder Yayasan DIAL, Pietra Widiadi, lembaga payung dari community learning Pendopo Kembangkopi di lereng Gunung Kawi, sisi Timur di Desa Sumbersuko, Wagir Kabupaten Malang.
*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan bukan bagian dari BacaMalang.com. (*)
