BACAMALANG.COM – Di sudut Kepanjen Kabupaten Malang yang tak pernah kehabisan cerita, berdirilah sebuah warkop yang berbeda dari kebanyakan. Warkop Grajen, bukan sekadar tempat ngopi, tapi sebuah ruang kontemplatif yang lahir dari cita-cita sederhana: menjadikan malam sebagai kesempatan berbagi rasa dan makna.
Imam Sodikin, pemilik warung yang juga ayah dari empat anak, memulai perjalanannya lebih dari tiga tahun lalu dengan satu impian yang telah lama terpatri—menciptakan jagongan malam yang tak hanya hangat di lidah, tapi juga menyentuh relung jiwa. Baginya, kebahagiaan tak harus berwujud materi atau keberhasilan besar. Ia bisa hadir dalam obrolan santai yang menghapus sejenak kepenatan hidup. Melalui jagongan, ia ingin membuka ruang kebersamaan yang tak berjarak, tempat siapa pun dapat berkeluh kesah, bersyukur, atau sekadar mendengarkan. Itulah bentuk pelayanan ruhani yang ia yakini—berjalan perlahan, tapi menyentuh banyak hati.
Dengan semangat menjadikan jagongan malam sebagai jembatan antara rasa kemanusiaan dan kesadaran ilahi, Imam menegaskan bahwa tujuan utama jagongan bukan semata berbagi wacana spiritual, tapi menciptakan kebahagiaan yang merata bagi semua—teman, keluarga, tetangga, bahkan bangsa. Bahagia yang sederhana, tapi mendalam: senyum tulus dalam canda, ketenangan dalam tanya, dan harapan dalam setiap tegukan kopi.
“Sejak sebelum warkop ini berdiri, saya sudah punya harapan agar malam-malam di sini menjadi tempat dialog yang mendalam, bahkan bisa menyentuh hal-hal Ketuhanan,” tutur Imam, mengenang awal mula.
Cita-cita jagongan seperti ini telah ia bayangkan sejak satu dekade lalu, ketika dirinya masih rutin mengikuti Pengajian Padhang Mbulan di Jombang, bagian dari komunitas keagamaan dan budaya Maiyah yang dirintis Cak Nun. Di sanalah, pencarian spiritual Imam muda tumbuh dan berliku, melewati berbagai simpul pemikiran dan rasa. Kini, meski ia telah memasuki jamaah lain yang tidak memakai nama khusus dan tidak berafiliasi dengan tarekat tertentu, jalannya tetap menuju Allah—melalui pintu tauhid dan tasawuf.
“Dulu guru saya Cak Nun, sekarang saya mengikuti guru lain. Tapi orientasi dan tujuan tetap sama. Bahkan Cak Nun sendiri menyukai jalan sufisme,” ujar pria penghobi olahraga Tenis Meja ini.
Warkop ini tak buka pagi hingga sore seperti kebanyakan. Ia justru hidup saat malam tiba, dari pukul 21.00 WIB hingga tengah malam. Di antara tawa ringan, humor cerdas, dan plesetan yang kadang jenaka, para pengunjung larut dalam pembicaraan yang—secara perlahan—mengarahkan diri mereka pada tema tasawuf. Topik-topik tentang eksistensi makhluk, kedekatan dengan Sang Khalik, dan pengalaman spiritual menjadi puncak perenungan.
Menurut Imam, gaya komunikasi yang digunakan dalam cangkrukan malam itu pun bukan bahasa formal yang kaku. “Kami punya bahasa sendiri. Kadang meliuk-liuk, tidak lurus. Tapi itu cara kami menemukan makna. Kata hanyalah wakil, yang terpenting adalah hakekat di baliknya,” jelasnya.
Suasana di warkop itu nyaris menyerupai panggung kecil, di mana tiap orang boleh berpendapat, bertanya, atau sekadar merenung. Tak ada tekanan, tak ada dogma. Hanya dialog yang mengalir, mengarah pada kesadaran bahwa segala yang ada pada akhirnya bermuara kepada Yang Maha Esa.
Imam Sodikin telah membuktikan bahwa filsafat, spiritualitas, dan kedekatan Ilahi tak melulu harus dibahas di ruang akademik atau mimbar keagamaan. Kadang, justru secangkir kopi di sudut warkop bisa menjadi pintu masuk ke ranah ruhani yang lebih dalam.
Pewarta: Hadi Triswanto
Editor: Rahmat Mashudi Prayoga