BACAMALANG.COM – Jagat media sosial baru-baru ini diguncang oleh tragedi memilukan yang menimpa seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan. Pemuda 21 tahun itu tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob saat sedang mengantar pesanan di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terjadi di tengah kericuhan demonstrasi yang berujung bentrok antara massa dan aparat. Affan bukan bagian dari aksi, ia hanya berusaha mencari nafkah seperti biasa. Namun nasib berkata lain—ia terjebak kemacetan dan tak sempat menghindar ketika mobil rantis melaju kencang dan menabraknya.
Video detik-detik kejadian menyebar luas di media sosial, memperlihatkan tubuh Affan yang tergeletak di jalan, sementara suara perekam berteriak panik. Ratusan driver ojol kemudian mengiringi jenazahnya ke pemakaman dengan seruan haru: “Jangan lindas kami lagi, Pak.” Affan menjadi simbol perlawanan diam para pekerja jalanan yang sering kali tak dianggap, meski mereka adalah tulang punggung keluarga dan roda ekonomi kota.
Namun kisah ini bukan satu-satunya. Di balik layar aplikasi transportasi, banyak driver ojol berjuang dalam senyap. Mereka menghadapi penghasilan yang tak menentu, tekanan ekonomi, dan tuntutan hidup yang terus membesar. Sebagian akhirnya memilih untuk hijrah profesi demi masa depan yang lebih stabil.
Ismu, warga Kepanjen, adalah salah satu dari mereka. Setelah bertahun-tahun menjadi pekerja serabutan dan driver ojol sejak 2018, ia kini berusaha mencari pekerjaan lainnya yang sesuai dengan usianya. Ia tinggal di rumah peninggalan istrinya yang telah meninggal, bersama dua anaknya yang masih sekolah dan kuliah di Malang.
“Saya kerja apa saja yang penting halal untuk mencukupi keluarga. Dulu masih kuat nguli di kebun dan bangunan. Sekarang harapannya dapat pekerjaan yang istiqamah,” ujar Ismu, kepada Baca Malang, Rabu (3/9/2025).
Meski sempat menikmati fleksibilitas kerja ojol, Ismu menyadari bahwa penghasilan yang fluktuatif tak cukup untuk menopang kebutuhan keluarga. Ia kini lebih fokus mencari pekerjaan yang memberi kepastian dan bisa dijalani dengan tenang.
Berbeda dengan Ismu, Anang memilih jalur wirausaha. Dua tahun terakhir, ia merintis bisnis bawang setelah sebelumnya menjadi pengangkut sayur antar kota. Ia melihat peluang besar dalam distribusi bahan pokok ini.
“Permintaan bawang tinggi, dan ini bisa mendongkrak ekonomi keluarga,” jelas Anang.
Meski menghadapi tantangan seperti harga yang fluktuatif dan standar kualitas konsumen, Anang aktif belajar dari komunitas dan media sosial. Ia juga memanfaatkan jaringan pertemuannya sebagai driver ojol untuk memasarkan produk secara langsung maupun lewat media sosial.
Kini, Anang tengah membuka peluang kerja sama dengan eksportir dan investor, termasuk penyediaan gudang dan lahan. Ia optimis bahwa usaha bawangnya akan berkembang pesat.
“Bawang itu kebutuhan pokok, jadi prospeknya panjang,” tutupnya.
Kisah Affan, Ismu, dan Anang menjadi cerminan bahwa di tengah ketidakpastian ekonomi, ketekunan dan kreativitas bisa membuka jalan baru. Dari helm ke ladang, dari aplikasi ke pasar tradisional—semua demi masa depan yang lebih pasti.
Pewarta: Hadi Triswanto
Editor: Rahmat Mashudi Prayoga