Stagnasi Ekslusivitas Akademisi

Dhia Al Uyun, Badan Pekerja Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB). (ist)

Oleh: Dhia Al Uyun*

Memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2023, situasi pendidikan menjadi cerminan memburuknya demokratisasi di Indonesia.

Scholar At Risk dalam Free on Talk 2022 mencatat, kebebasan akademik mengalami ancaman seiring dengan penangkapan dan pendisiplinan demonstrasi mahasiswa, regulasi yang menguatkan tekanan pada kebebasan akademik, ruang penelitian yang menyusut dan otonomi yang membentuk iklim koruptif di kampus.

Padahal, kebebasan akademik merupakan bara api yang mendorong perubahan dan kebaruan keilmuan.

Tidak hanya mahasiswa, dominasi otoritas negara dan kampus kemudian memposisikan akademisi menjadi obyek dalam regulasi dan kebijakan.

Salah satu regulasi yang menundukkan peran akademisi di kampus adalah Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023.

Regulasi ini mendorong gagasan tentang serikat pekerja kampus. Dinamika serikat ini diperlukan, karena peran akademisi dalam kelas ekslusifnya tidak mampu menjawab persoalan konkrit pendidikan.

Intelegensia, Akademisi dalam Ruang Sosial Yang Eksklusif. Sebutan Intelegensia berawal dari abad XIX, Peter Agung di Rusia mengirim lapisan masyarakat yang lebih terdidik ke Barat dengan tujuan memahami dasar-dasar peradaban barat dengan karakteristik tersendiri, pembawa pencerahan.

Dalam perkembangannya, Julien Benda mencatat, strata ini bekerja di pemerintahan dan perusahaan dan berselingkuh dengan kekuasaan, popularitas dan uang.

Pandangan berbeda dari Gramsci, tidak mengeneralisasi kaum intelektual tersebut, ia menggolongkan intelektual menjadi 4 (empat) bentuk yaitu tradisional, organik, kritis dan universal.

Namun penggolongan ini tidak mampu meretas eksklusifitas akademisi, bahkan melegalisasi penggolongan pilihan-pilihan bagi akademisi yang pada akhirnya memasukkan para akademisi dalam arena pertentangan peran dan membuka peluang bagi akademisi organik menindas akademisi lainnya.

Pandangan ketiga, Karl Mannheim memandang intelektual sebagai free floating, tidak masuk kelas manapun, justru memiliki misi untuk memberikan pengertian antar kelas hingga mencapai perubahan.

Dalam kerangka pemikiran ini, Pierre Biurdieu dalam Arizal Mutahir menegaskan bahwa intelektual adalah fellow travellers bagi kaum tertindas.

Conscientizacao: Penindasan PerMenpan RB Nomor 1 Tahun 2023.
Ternyata menjadi fellow travellers adalah tantangan manakala penindasan tersebut terjadi dalam lingkungan akademisi.

PerMenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Jabatan Fungsional disahkan 6 Januari 2023.

Per Menpan ini mengubah ratusan kebijakan tentang jabatan fungsional dan mencabut 293 peraturan/keputusan lainnya, diberlakukan untuk kinerja pegawai sejak 1 Januari 2023.

Pertama, penataan karier akademisi dalam garis struktural Aparatus Sipil Negara. Akademisi akan dipaksa secara administrasi untuk menempati jabatan struktural dalam kerangka perpindahan vertikal, horizontal dan diagonal.

Situasi serupa sudah diterapkan dalam perpindahan status perguruan tinggi dari satker, BLU hingga BHP yang tidak dapat ditolak oleh perguruan tinggi karena merupakan bagian dari perangkingan universitas.

Kedua, evaluasi kinerja meliputi review pada hasil kerja dan perilaku. Hal ini akan memperkuat jenjang senioritas dalam lingkungan pendidikan, menghapuskan kebebasan akademik, menyuburkan kolusi dalam perguruan tinggi dan eksploitasi dosen muda adan tenaga kependidikan.

Ketiga, tidak rasionalnya pendokumentasian dan menambah beban administrasi dosen.

Pendokumentasian yang dilakukan dalam jangka waktu terbatas, dengan berbagai dokumen dalam rentang tahunan yang harus dikumpulkan, perubahan rentang waktu, sumber aplikasi dan dokumen yang berubah, kebijakan masing-masing universitas yang berbeda membuat pendokumentasian ini tidak rasional.

Ukuran dosen dilihat formalitas. Dan hal ini berdampak pada kesejahteraan dosen.

Maka, conscientizacao atau pembelajaran untuk merasakan perbedaan sosial, politik dan ekonomi untuk mengambil tindakan melawan elemen penindasan tersebut perlu disadari bersama.

Serikat Pekerja Kampus: Penghancur stagnasi eksklusifitas akademisi. Perlu disadari bahwa tugas utama akademisi adalah agen perubahan, maka hal-hal yang meracuni perkembangan akademisi seharusnya dapat dilawan.

Stagnasi eksklusifitas yang melanggengkan penghormatan, penundukan, berujung pada penindasan hanya akan membawa peningkatan seperenam dosen.

Dengan stagnasi tersebut, dosen hanya bisa melawan secara individual, dalam institusinya akan berujung pada pendisiplinan, situasi ini membuat tujuan utama perubahan regulasi tidak terwujud.

Serikat Pekerja Kampus merupakan solusi untuk pendisiplinan tersebut, selain itu serikat ini akan melunturkan senioritas junioritas, yang akan mendorong pemajuan pendidikan dalam kerangka kesetaraan.

Bukan tidak mungkin, akademisi belajar dari serikat buruh yang sudah terlebih dahulu berkembang, karena bagaimanapun serikat pekerja kampus adalah lec specialis dari serikat buruh.

*) Penulis Dhia Al Uyun, Badan Pekerja Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB)

*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan bukan bagian dari BacaMalang.com.(*)