Oleh : M. Dwi Cahyono
A. Ragam Sebutan “Urip” dan Kandungan Maknanya
Kata “urip” dalam arti : hidup, adalah salah satu kosa kata di dalam bahasa Jawa Baru. Adapun pada bahasa Jawa Kuna serta Tengahan, penulisannya adalah “hurip” — mendapatkan tambahan konsonan “h” di muka, yang berarti : hidup (Zoetmulder, 1995: 370). Kata jadiannya, antara lain adalah “anghurip, humurip, hinurip, atau anghuripi, humuripi dan hinu- nuripan” berarti : memberi kehidupan, menghidupi, menghidkan, atau tidak membunuh.
Yang menarik dan penting untuk dicermati adalah bahwa dalam susastra-susastra lama, kata “hurip” acap disertai dengan kata sandang “sang hyang”, menjadi “sang hyang hurip”. Hal ini menjadi petunjuk bahwasanya kehidupan (panguripan) dikonsepsikan sebagai se- suatu yang penting, yang mulia, dan yang berharga.
Oleh karena itu, patutlah untuk menghargai hidup, musti mengelola kehidupan dengan sebaik-baiknya. Tindakan yang sengaja mengakhiri hidup, misalnya dengan bunuh diri, karenanya merupakan kematian yang dianggap salah, yang disebuti “salah pati”.
Istilah krami untuk “urip” adalah “gesang”, dan lebih halus lagi adalah “sugeng”. Lawan katanya adalah “mati” atau “modar”. Adapun kata kraminya adalah “pejah, sedo, atau tinggal (tinggal donyo)”. Kondisi transisi antara hidup dan mati diistilahi dengan “se- karat”. Hidup diposisikan sebagai “pangkal”, adapun “mati” berada pada posisi “ujung”. Durasi “usia (yuswo)” adalah antara keduanya, yakni semenjak awal kehidupan hingga diakhir kematian. Ada orang yang “panjang yuswo”, dan sebaliknya ada yang “cendak yuswo”. Sebagian besar makhlu hidup mengingini “panjang yuswo”, sehingga berupaya untuk sebisa- nya terhindar dari sakit dan kematian, atau paling tidak menunda kematian. Oleh karenanya ada doa pengharapan berbunyi “mugi pinaringan panjang yuswo (semogalah mendapat anugerah panjang usia)”.
Keabadian hidup adalah suatu pengharapan, bah- kan menjadi impian dari manusia, dewa, ataupun raksasa. Terkait itu, terdapat konsepsi mengenai “air kehidupan” atau “air keabadian” — Istilah arkais darinya adalah “amreta (mreta = mati, amreta = tak mati, hidup, abadi”). Ikhtiar untuk memperpanjang kehidupan diidapati dalam dunia binatang, dengan “nlungsungi (ganti kulit)”, seperti terjadi pada ular. Dalam mitologi “amretamantana”, ular bejesempat- an mencicip tothamreta yang tertetes di ujung daun ilalalang. Dijilatilah tetesan air kehidupan itu. Maka terbelah dua lah lidah ular lantaran teriris tajam da- un ilalang. Berkat setetes tirthamreta tersebut, ular dikaruniai panjang usia, yakni dengan mekanisme “nlungsungi”.
Pada kisah lama, ada tokoh cerita yang digambar- kan memiliki hidup abadi, seperti tokoh Rahwana, Aswatama, dan Yudistira. Usia mereka yang amat panjang itu diibarati dengan “pitung perkutut, sak enteke pring, sak bosoke beling (tujuh usia burung perkutut, sehabisanya rumpun bambu, hingga se busuknya kaca)”. Bahkan, ada tokoh tertentu yang memiliki ajian untuk dapat menghidupkan orang dari kematiannya. Sang Kresna salah satu awatara Dewa Wisnu misanya, memiliki “Kembang Wijaya Kusuma”, yang punya khasiat dahsyat untuk dapat menghidupkan orang dari kematiannya. Pada akhir panil relief cerita “Arjunawuwaha” yang terpahat di kaki Candi Surawana, dikisahkan bahwa pasca pe- rang besar antara padukan Dewata VS prajuritnya Yaksa Niwatakawaca, orang-orang yang mati dalam peperang pun “dihidupkan kembali”. Demikian arti penting dari “hidup”.
Kata seru “hidup!!!” mengandung spirit untuk senan- tiasa menjaga eksistensi (keberadaan), atau untuk mempertahan adanya sesuatu. Pada lirik Lagu Ke- bangasaan ciptaan W.R. Supratman yang berjudul “Indonesia Raya” pada pertengahan tahun 1928 dan pertama kali diperdengarkan pada 28 Oktober 1928 [tepatnya di Kongres Pemuda Indonesia II] memuat lirik yang berkenaan dengan kata “hidup”, yaitu :
…………
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
Nah, ada kewajiban dari semua anak bangsa untuk senantiasa berikhtiar menghidupkan tanahnya, negerinya, bangsanya, rakyatnya, dan kesemuanya untuk “Indonesia Raya”.
Bekerja dalam rangka mencari nafkah bagi sanak keluarga seringkali diistilahi dengan “golek panguripan (mencari penghidupan)”. Oleh karena itulah, mata pencaharian disebuti dengan “pecaharian hidup (cahari hidup). Untuk dapat hidup, maka ibarat ayam, orang musti ceker (menggaruk-garuk tanah), sehingga terdapat sebutan “yen pingin urip, yo kudu gelem ceker (bila ingin hidup, mustilah mau ceker)”. Pada kehidupan petani, “ceker” itu berupa menggali (mencangkul) dan menggaru (meluku) tanah untuk berbudi daya tanaman. Kemuliaan hidup (urip mulyo), oleh karenanya adalah buah dari Ikhtiar pencaharian hidup, suatu budi daya yang musti dilakukan dengan cara bersungguh-sungguh. Tak ada kemuliaan hidup bila cuma berpangku tangan, tidak ada kehidupan tanpa adanya daya upaya. Itulah yang di- namai “nguripi urip (menghidupi kehidupan)”. Ada kalanya nguripi (membuat jadi hidup) acap diibarati dengan menyalakan api (cethik geni) atau membuat sesuatu menjadi bernyala (ngurupi)”.
*) M. Dwi Cahyono, Arkeolog, dan Pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang (UM).
*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
